An-Nisa ayat 60

17.31 Add Comment


“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thagut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thagut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya”. (An Nisa : 60)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan At-Thabrani dengan sanad yang sahih yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa Abu Barzah Al-Aslami seorang pendeta Yahudi biasa mengadili kaumnya dan menyelesaikan perselisihan di antara mereka. Pada suatu waktu datanglah kaum muslimin meminta bantuan penyelesaian daripadanya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 60) sebagai teguran untuk meminta bantuan penyelesaian kepada thagut.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari ‘Ikrimah atau Sa’id yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa Jallas bin Ash-Shamit, Mu’thib bin Qusyair, Rafi’ bin Zaid, dan Basyar yang mengaku-ngaku beragama Islam, ketika diajak oleh orang Islam untuk menerima bantuan Rasulullah dalam menyelesaikan perselisihan di antara mereka, mereka menolak dan mengajak kaum Muslimin untuk meminta bantuan pendeta-pendeta mereka (hakim-hakim Jahiliyyah). Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 60) sebagai larangan untuk minta diadili oleh hakim-hakim thagut.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari As-Syu’bi: bahwa seorang Yahudi berselisih dengan seorang munafik. Yahudi itu mengusulkan untuk meminta bantuan Nabi dalam menyelesaikan perselisihan itu, karena ia tahu bahwa Nabi tidak akan makan risywah (sogokan). Akan tetapi mereka bersepakat dan memutuskan untuk meminta bantuan seorang pendeta di Juhainah. Maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 60) sebagai cercaan terhadap perbuatan munafik.

An-Nisa ayat 58

16.03 Add Comment


“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih dari Al-Kalbi dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa setelah Fathu Makkah (pembebasan Mekah) Rasulullah Saw memanggil Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci Ka’bah, Ketika Utsman datang menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci, berdirilah Abbas dan berkata: “Ya Rasulallah, demi Allah serahkan kunci itu kepadaku untuk saya rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan)”. Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabdalah Rasulullah: “Berikanlah kunci itu kepadaku wahai Utsman!” Utsman berkata: “Inilah dia, amanat dari Allah”, maka berdirilah Rasulullah membuka Ka’bah dan terus keluar untuk thawaf di Baitullah. Turunlah Jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kepada Utsman. Rasulullah melaksanakan perintah itu sambil membaca ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 58).

Diriwayatkan oleh Syu’bah di dalam tafsirnya dari Hajaj yang bersumber dari Ibnu Juraij: bahwa turunnya ayat ini (An-Nisa ayat 58) berkenaan dengan Utsman bin Thalhah. Ketika itu Rasulullah Saw mengambil kunci Ka’bah darinya pada waktu Fathu Makkah. Dengan kunci itu Rasulullah masuk Ka’bah. Di waktu keluar dari ka’bah beliau membaca ayat ini (An-Nisa ayat 58). Kemudian beliau memanggil Utsman untuk menyerahkan kembali kunci itu. Menurut Umar bin Khattab kenyataannya ayat ini (An-Nisa ayat 58) turun di dalam ka’bah, karena pada waktu itu Rasulullah keluar dari ka’bah, membawa ayat itu, dan ia bersumpah bahwa sebelumnya belum pernah mendengar ayat itu.

An-Nisa ayat 59

16.03 Add Comment


“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan orang-orang yang memegang kekuasaan di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah Nabi), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (An-Nisa : 59)

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lainnya yang bersumber dari Ibnu Abbas dengan riwayat ringkas: bahwa turunnya ayat ini (An-Nisa ayat 59) berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais ketika diutus oleh Nabi Saw memimpin suatu pasukan.

Keterangan:
Menurut Imam Ad-Dawudi riwayat tersebut menyalahgunakan nama Ibnu Abbas, karena cerita mengenai Abdullah bin Hudzafah itu adalah sebagai berikut: “Di saat Abdullah marah-marah pada pasukannya ia menyalakan api unggun, dan memerintahkan pasukannya untuk terjun ke dalamnya. Pada waktu itu sebagian menolak dan sebagian lagi hampir menerjunkan diri ke dalam api”. Sekiranya ayat ini turun sebelum peristiwa Abdullah mengapa ayat ini dikhususkan untuk mentaati Abdullah bin Hudzafah saja, sedang pada waktu lainnya tidak. Dan sekiranya ayat ini sesudahnya, maka berdasarkan hadis yang telah mereka ketahui, yang wajib ditaati itu ialah di dalam ma’ruf (kebaikan) dan tidak pantas dikatakan kepada mereka mengapa ia tidak taat.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa maksud kisah Abdullah bin Hudzafah, munasabah disangkut pautkan dengan alasan turunnya ayat ini (An-Nisa ayat 59) karena dalam kisah ini dituliskan adanya perbatasan antara taat pada perintah (pemimpin) dan menolak perintah, untuk terjun ke dalam api. Di saat itu mereka perlu akan petunjuk apa yang harus mereka lakukan. Ayat ini (An-Nisa ayat 59) turun memberikan petunjuk kepada mereka apabila berbantahan hendaknya kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.
Menurut Ibnu Jarir bahwa ayat ini (An-Nisa ayat 59) turun berkenaan dengan Ammar bin Yasir yang melindungi seorang tawanan tanpa perintah panglimanya (Khalid bin Walid) sehingga mereka berselisih.

An-Nisa ayat 51-54

22.11 Add Comment


“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada yang disembah selain Allah dan thagut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman”. (An Nisa : 51)
“Mereka itulah orang-orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya”. (An Nisa : 52)
“Ataukah ada bagi mereka bahagian dari kerajaan (kekuasaan)? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikit pun (kebajikan) kepada manusia”. (An Nisa : 53)
“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepada manusia itu? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. (An Nisa : 54)

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas: ketika Ka’b bin Al-Asyraf (Yahudi) datang ke Mekah berkatalah orang Quraisy: Tidakkah kau lihat orang yang berpura-pura sabar dan terputus dari kaumnya, yang menganggap dirinya lebih baik daripada kami? Padahal kami menerima orang yang naik haji, menjadi khadam ka’bah dan pemberi minum. Berkatalah Ka’b bin Asyraf: “Kamu lebih baik daripada dia (Muhammad)”. Maka turunlah ayat “Inna syaniaka huwal abtar” (Al Kautsar ayat 3) dan ayat tersebut di atas (An Nisa : 51, 52) berkenaan dengan mereka sebagai penjelasan tentang kedudukan mereka yang dilaknat oleh Allah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishak yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa penggerak persekutuan antara kaum Quraisy, Ghathafan dan Bani Quraidah dalam harb Ahzab ialah Hay bin Akhthab, Salam bin Abil Hakiq, Abu Rafi’, Ar-Rabi bin Abil Hakiq, Abu Imarah dan Haudah bin Qais dari kaum Yahudi Bani Nadhir. Ketika bertemu dengan kaum Quraisy mereka berkata: “Inilah pendeta-pendeta Yahudi dan ahli ilmu dari kitab-kitab yang dahulu, cobalah kalian bertanya kepada mereka apakah agama Quraisy yang lebih baik atau agama Muhammad?”. Mereka menjawab: “Agama kalian lebih baik daripada agama Muhammad dan kalian lebih mendapat petunjuk daripada Muhammad dan pengikutnya”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (An Nisa ayat 51-54) sebagai peringatan, teguran, makian dan kutukan Allah kepada mereka.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Al-‘Ufi yang bersumber dari Ibnu Abbas, diriwayatkan pula oleh Ibnu Sa’d yang bersumber dari Umar (Maula Afrah) seperti itu tetapi lebih panjang: bahwa ahli kitab pernah berkata: “Muhammad menganggap dirinya dengan rendah diri telah diberi (kenabian, Qur’an dan kemenangan) sebagaimana yang telah diberikan (kepada Nabi-Nabi yang terdahulu), mempunyai sembilan istri dan tidak ada yang dipentingkan kecuali kawin. Raja yang mana yang lebih utama daripada anggapan seperti ini?”. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (An Nisa ayat 54) sebagai cercaan terhadap iri hati mereka.

An-Nisa ayat 49

11.39 Add Comment
An-Nisa ayat 49
Tidakkah kamu perhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari ‘Ikrimah, Mujahid, Abi Malik dan lainnya: bahwa orang-orang Yahudi mementingkan menyuruh anak-anaknya shalat dan mementingkan anak-anaknya berkurban dan mereka menganggap bahwa dengan perbuatannya itu bebaslah kesalahan dan dosanya. Maka Allah turunkan ayat tersebut diatas (An-Nisa ayat 49) sebagai teguran kepada orang yang menganggap dirinya bersih dari dosa dengan jalan seperti itu”.

An-Nisa ayat 48

11.39 Add Comment
An-Nisa ayat 48
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan At-Thabrani yang bersumber dari Abi Ishak Al-Anshari: bahwa seorang laki-laki menghadap kepada Rasulullah Saw dan berkata: “Keponakan saya tidak mau meninggalkan perbuatan haram”. Nabi bersabda: “Apa agamanya?” Ia menjawab: “Ia suka shalat dan bertauhid kepada Allah”. Bersabda Nabi: “Suruhlah ia meninggalkan agamanya atau belilah agamanya!”. Orang tersebut melaksanakan perintah Rasul tetapi keponakannya itu menolak tawarannya, dan ia kembali kepada Nabi Saw dan berkata: “Saya dapati dia sangat sayang akan agamanya”. Maka turunlah ayat tersebut diatas (An-Nisa ayat 48), sebagai penjelasan bahwa Allah akan mengampuni segala dosa orang yang dikehendaki-Nya (kecuali syirik).

An-Nisa ayat 47

20.59 Add Comment
An-Nisa ayat 47
Hai orang-orang yang telah diberi Al-kitab, berimanlah kamu dengan apa yang telah Kami turunkan (Al-Quran) yang membenarkan kitab yang ada padamu sebelum Kami mengubah muka(mu), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishak yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa Rasulullah Saw bersabda kepada pendeta-pendeta kaum Yahudi di antaranya Abdullah bin Shuria dan Ka’b bin Usaid: “Hai kaum Yahudi! berbaktilah kepada Allah, dan masuk Islamlah kalian, demi Allah, sesungguhnya kalian pasti tahu apa yang aku bawa ini adalah benar”. Mereka berkata: “Kami tidak tahu hai Muhammad hal itu”. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 47) sebagai seruan untuk beriman kepada kitab yang diturunkan oleh Allah yang membenarkan apa yang tercantum dalam kitab mereka.

An-Nisa ayat 44

20.59 Add Comment
An-Nisa ayat 44
Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar)”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishak yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa seorang tokoh Yahudi bernama Rifa’ah bin Zaid bin At-Tabut pada suatu ketika berkata kepada Rasulullah Saw sambil menjulurkan lidahnya: “Hai Muhammad!, perhatikanlah olehmu dan dengarkan agar aku dapat memberikan pengertian kepadamu”. Kemudian ia menghina, mencela Islam dengan mempermainkan dan memperolok-olokannya. Maka turunlah ayat berkenaan dengan dirinya (An-Nisa ayat 44) yang memberi peringatan kepada Rasulullah akan adanya orang-orang yang menyesatkan dari jalan yang lurus.

An-Nisa ayat 43

20.57 Add Comment


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (janganlah pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi (terlebih dahulu). Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”. (An Nisa : 43)

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Al-Hakim yang bersumber dari Ali: bahwa Abdurrahman bin ‘Auf mengundang makan Ali dan kawan-kawannya. Kemudian dihidangkan minuman khamar (arak, minuman keras), sehingga terganggulah otak mereka. Ketika tiba waktu shalat, orang-orang menyuruh Ali menjadi imam, dan pada waktu itu beliau membaca dengan keliru: “qulya ayyuhal kafirun, la a’budu ma ta’budun, wanahnu na’budu ma ta’budun”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 43) sebagai larangan shalat di waktu mabuk.

Diriwayatkan oleh Al-Faryabi, Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mundzir yang bersumber dari Ali: bahwa turunnya ayat “Wala junuban illa ‘abiri sabilin hatta taghtasilu” (An-Nisa ayat 43) berkenaan dengan seorang yang junub (berhadats besar) di dalam perjalanan lalu ia tayamum dan terus shalat. Ayat ini (An-Nisa ayat 43) sebagai petunjuk kepada orang yang berhadats dalam perjalanan ketika tidak ada air.

Diriwayatkan oleh Ibnu Maduwaih yang bersumber dari Al-Ashla’ bin Syarik: bahwa Al-Ashla’ bin Syarik dalam keadaan junub di perjalanan bersama Rasulullah Saw. Pada waktu itu malam sangat dingin, dan ia tidak berani mandi dengan air dingin, takut kalau-kalau mati atau sakit. Hal itu disampaikan kepada Rasulullah Saw. Lalu turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 43) sebagai tuntunan bagi orang-orang yang takut kena bahaya kedinginan kalau ia mandi.

Diriwayatkan oleh At-Thabrani yang bersumber dari Al-Ashla’: bahwa Rasulullah Saw pada suatu hari di perjalanan memerintahkan kepada Ashla’ khadam dan pembantunya untuk menyiapkan kendaraannya. Al-Ashla’ berkata: “Wahai Rasulullah aku sedang junub”. Maka Rasulullah Saw terdiam hingga datang kepadanya Jibril membawa ayat tayamum. Beliau memperlihatkan cara tayamum kepadanya, menyapu muka sekali, menyapu kedua tangannya sampai sikut sekali. Bertayamumlah ia, kemudian mempersiapkan kendaraan untuk Rasulullah Saw.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Yazid bin Abi Habib: bahwa pintu rumah sebagian golongan Anshar melalui masjid. Ketika mereka junub dan tidak mempunyai air, mereka tidak bisa mendapatkan air kecuali melalui masjid. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 43) yang membolehkan orang junub melewati masjid.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Mujahid: bahwa turunnya ayat ini (An-Nisa ayat 43) berkenaan dengan seorang kaum Anshar yang sakit dan tidak kuat berdiri untuk wudhu.  Dia tidak mempunyai khadam (pembantu) yang menolongnya. Hal itu diterangkan kepada Rasulullah Saw. Turunnya ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 43) sebagai tuntunan tayamum bagi yang sakit tidak mampu berwudhu.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibrahim An-Nakh’i: bahwa beberapa sahabat Rasul kena tatu (luka) yang parah sampai infeksi, dan diuji oleh Allah dengan junub (karena mimpi). Mereka mengadu kepada Rasulullah Saw. Maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 43) sebagai kelonggaran bagi yang sakit parah dan junub untuk tayamum.

An-Nisa ayat 37

03.36 Add Comment
An-Nisa ayat 37
“(Yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya pada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber darii Sa’id bin Jubair: Bahwa para ulama Bani Israil bakhil dengan ilmu yang mereka miliki. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 37) sebagai peringatan terhadap perbuatan seperti itu.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Ishak dari Muhammad bin Abi Muhammad dari ‘Ikrimah atau Sa’id yang bersumber dari Ibnu Abbas: Bahwa Kurdum bin Zaid sekutu Ka’ab bin Al-Asyraf. Usamah bin Habib, Nafi bin Abi Nafi, Bahra bin ‘Amr, Hay bin Akhthab dan Rifa’ah bin Zaid bin At-Tabut, mendatangi orang-orang Anshar dan menasehatinya dengan berkata: “Janganlah kamu membelanjakan hartamu, kami takut kalau-kalau kamu jadi fakir dengan hilangnya harta itu, dan janganlah kamu terburu-buru menginfakkan, karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 37) sebagai larangan menjadi orang kikir dan larangan menganjurkan orang lain menjadi orang yang kikir.

An-Nisa ayat 37

19.49 Add Comment
An-Nisa ayat 37
"(Yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya pada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan".

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa'id bin Jubair: Bahwa para ulama Bani Israil bakhil dengan ilmu yang mereka miliki. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 37) sebagai peringatan terhadap perbuatan seperti itu.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Ishak dari Muhammad bin Abi Muhammad dari 'Ikrimah atau Sa'id yang bersumber dari Ibnu Abbas: Bahwa Kurdum bin Zaid sekutu Ka'ab bin Al-Asyraf. Usamah bin Habib, Nafi bin Abi Nafi, Bahra bin 'Amr, Hay bin Akhtab dan Rifa'ah bin Zaid bin At-Tabut, mendatangi orang-orang Anshar dan menasehatinya dengan berkata: "Janganlah kamu membelanjakan hartamu, kami takut kalau-kalau kamu jadi fakir dengan hilangnya harta itu, dan janganlah kamu terburu-buru menginfakkan, karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi". Maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 37) sebagai larangan menjadi orang kikir dan larangan menganjurkan orang lain menjadi orang kikir.

An-Nisa ayat 34

04.21 Add Comment


“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri dibalik pembelakangan suaminya oleh karena Allah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan Nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (An Nisa : 34)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Al-Hasan: Bahwa seorang wanita yang mengadu kepada Rasulullah Saw karena telah ditampar oleh suaminya. Bersabdalah Rasulullah Saw: “Dia mesti diqishash (dibalas)”. Maka turunlah ayat tersebut (An-Nisa ayat 34) sebagai ketentuan mendidik istri yang menyeleweng. Setelah mendengar penjelasan ayat tersebut pulanglah ia dengan tidak melaksanakan qishash.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari beberapa jalan yang bersumber dari Al-Hasan. Dan dari sumber Ibnu Juraij dan As-Suddi: Bahwa ada seorang istri yang mengadu kepada Rasulullah Saw karena ditampar oleh suaminya (golongan Anshar) dan menuntut qishash (balas). Nabi Saw mengabulkan tuntutan itu. Maka turunlah ayat “Wala ta’jal bil qur’ani min qalbi an yaqdha ilaika wahyuhu” (Thaha ayat 114) sebagai teguran kepadanya dan ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 34) sebagai ketentuan hak suami di dalam mendidik istrinya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih yang bersumber dari ‘Ali: Bahwa seorang Anshar menghadap Rasulullah Saw bersama istrinya. Istrinya berkata : “Ya Rasulallah, ia telah memukul saya sehingga berbekas di muka saya”. Maka bersabdalah Rasul Saw : “Tidaklah berhak ia berbuat demikian”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 34) sebagai ketentuan cara mendidik.

Keterangan : Riwayat tersebut diatas saling menguatkan

An-Nisa ayat 33

11.24 Add Comment
An-Nisa ayat 33
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam sunannya dari Ibnu Ishak yang bersumber dari Dawud bin Al-Hushain: bahwa Daud bin Al-Hushain membacakan ayat “walladzina ‘aqadat aimanukum” kepada Ummu Sa’d binti Rabi’ yang tinggal di rumah Abu Bakar. Akan tetapi Ummu Sa’d berkata: “Salah! bukan demikian, hendaknya kau baca “wal ladzina ‘aqadat aimanukum”, karena ayat ini (An-Nisa ayat 33) turun berkenaaan dengan peristiwa Abu Bakar yang bersumpah tidak akan memberi waris kepada anaknya, karena tidak mau masuk Islam. Dan setelah anak itu masuk Islam diperintahkan untuk diberi warisan sesuai dengan ayat itu.

An-Nisa ayat 32

08.15 Add Comment


“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang-orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan dan bagi wanita pun ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonkanlah kepada Allah sebahagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Al-Hakim yang bersumber dari Ummu Salamah: bahwa Ummu Salamah berkata: “Kaum laki-laki berjihad, sedangkan wanita tidak, dan kita hanya mendapat setengah bagian warisan laki-laki”. Allah menurunkan ayat ini (An Nisa ayat 32) sebagai teguran untuk tidak beriri hati kepada ketetapan Allah. Dan bahkan dengan itu pula turun ayat (Al Ahzab ayat 35) sebagai penjelasan bahwa Allah tidak membedakan antara Muslimin dan Muslimat dalam mendapat ampunan dan pahala.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa seorang wanita mengadu pada Rasulullah Saw dengan berkata: “Ya Nabiyallah! laki-laki mendapat dua bagian kaum wanita dalam waris dan dua orang saksi wanita sama dengan seorang saksi laki-laki. Apakah didalam beramal pun demikian juga?” (yaitu amal yang baik seorang wanita mendapatkan pahala setengah dari jumlah pahala laki-laki). Maka Allah turunkan ayat tersebut di atas sebagai penegasan bahwa laki-laki dan wanita akan mendapat imbalan yang sama sesuai dengan amalnya.

An-Nisa ayat 24

14.09 Add Comment


“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu campuri diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan An-Nasai yang bersumber dari Abi Sa’id Al-Khudri: bahwa kaum Muslimin mendapat tawanan wanita yang mempunyai suami dari pertempuran Authas. Mereka tidak mau dicampuri oleh yang berhak terhadap tawanan itu. Maka bertanyalah kaum Muslimin kepada Rasulullah Saw hingga turunlah ayat tersebut di atas (An Nisa ayat 24) sebagai penegasan hukumnya.

Diriwayatkan oleh At-Thabrani yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa turunnya ayat ini (An Nisa ayat 24) di waktu peristiwa Hunain, tatkala Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin dan dapat tawanan beberapa wanita ahli kitab. Ketika akan dicampuri mereka menolak dengan alasan bersuami, dan kaum Muslimin bertanya kepada Rasulullah Saw. Rasul menjawabnya berdasarkan ayat tersebut di atas.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ma’mar bin Sulaiman yang bersumber dari bapaknya: bahwa orang Hadhrami membebani kaum laki-laki membayar mahar (maskawin) dengan harapan dapat memberatkannya (sehingga tidak dapat membayar pada waktunya untuk mendapatkan tambahan pembayaran), maka turunlah ayat tersebut di atas (An Nisa ayat 24) sebagai ketentuan pembayaran maskawin atas keridaan kedua belah pihak.

An-Nisa ayat 23

06.44 Add Comment


“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepesusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraij : bahwa Ibnu Juraij bertanya kepada ‘Atha tentang “wahala ilu abna ikumulladzina min ashlabikum” (An-Nisa ayat 23) ‘Atha menjawab: “Pernah kami memperbincangkan bahwa ayat itu turun mengenai pernikahan Nabi kita Saw kepada mantan istri Zaid bin Haritsah (anak angkat Nabi)”. Kaum musyrikin mempergunjingkannya hingga turun ayat tersebut (An-Nisa ayat 23) dan surat Al-Ahzab ayat 4 dan 40 sebagai penegasan dibenarkannya perkawinan kepada mantan istri anak angkat.

An-Nisa ayat 22

21.56 Add Comment


“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, Al-Faryabi dan At-Thabrani yang bersumber dari Adi bin Tsabit dari seorang Anshar: bahwa Abu Qais bin Al-Aslat seorang Anshar yang saleh meninggal dunia. Anaknya melamar istri Abu Qais (ibu tiri). Berkata wanita itu: “Saya menganggap engkau sebagai anakku, dan engkau termasuk dari kaummu yang saleh”. Maka menghadaplah wanita itu kepada Rasulullah Saw untuk menerangkan halnya. Nabi Saw bersabda: “Pulanglah engkau ke rumahmu”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 22) sebagai larangan mengawini bekas istri bapaknya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d yang bersumber dari Muhammad bin Ka’ab Al-Qarzhi bahwa di zaman Jahiliyah anak yang ditinggalkan mati oleh bapaknya lebih berhak atas diri ibu tirinya, apakah akan mengawininya atau mengawinkan kepada orang lain menurut kehendaknya.
Ketika Abu Qais bin Al-Aslat meninggal, Muhsin bin Qais (anaknya) mewarisi istri ayahnya, dan tidak memberikan suatu waris apapun kepada wanita itu.
Menghadaplah wanita tersebut kepada Rasulullah Saw menerangkan halnya. Maka bersabda Rasulullah: “Pulanglah, mudah-mudahan Allah akan menurunkan ayat mengenai halmu”. Maka turunlah ayat tersebut (An-Nisa ayat 19, 22) sebagai ketentuan waris bagi istri dan larangan mengawini ibu tiri.

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Sa’d yang bersumber dari Az-Zuhri bahwa turunnya ayat ini (An-Nisa ayat 19, 22) berkenaan dengan sebagian besar orang-orang Anshar yang apabila seseorang meninggal, maka istri yang bersangkutan menjadi milik wali si mati dan menguasainya sampai meninggal.

An-Nisa ayat 19

05.58 Add Comment
An-Nisa ayat 19
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya (mahar), terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhori, Abu Dawud dan An-Nasai yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa di zaman Jahiliyah apabila seorang laki-laki meninggal, wali si mati lebih berhak daripada istri yang ditinggalkannya. Sekiranya si wali ingin mengawininya atau mengawinkan kepada orang lain, ia lebih berhak daripada keluarga wanita itu. Maka turunlah ayat tersebut (an nisa ayat 19) sebagai penegasan tentang kedudukan wanita yang ditinggal suaminya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dengan sanad hasan yang bersumber dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif (Hadits ini diperkuat oleh riwayat Ibnu Jarir yang bersumber dari Ikrimah), bahwa ketika Abu Qais bin Al-Aslat meninggal, anaknya ingin mengawini istri ayahnya (ibu tiri). Perkawinan seperti ini adalah kebiasaan di jaman jahiliyah. Maka Allah menurunkan ayat tersebut (an nisa ayat 19), yang melarang menjadikan wanita sebagai harta waris.

An-Nisa ayat 11 dan 12

18.44 Add Comment


Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu: Bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. Jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja) maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) menfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (An-Nisa : 11)
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperenam dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri-istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”. (An  Nisa : 12)

Diriwayatkan oleh Imam-Imam yang enam yang bersumber dari Jabir bin Abdillah: bahwa Rasulullah disertai Abu Bakar berjalan kaki menengok Jabir bin Abdillah sewaktu sakit keras di kampung Bani Salamh. Ketika didapatkannya tidak sadarkan diri, beliau minta air untuk berwudu dan memercikkan air di atasnya, sehingga sadar. Lalu berkatalah Jabir: “Apa yang tuan perintahkan kepadaku tentang harta bendaku?”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (an nisa ayat 11, 12) sebagai pedoman pembagian harta waris.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Al-Hakim yang bersumber dari Jabir: bahwa istri Sa’ad bin Ar-Rabbi menghadap kepada Rasulullah Saw dan berkata: “Ya Rasulallah, kedua putri ini anak Sa’ad bin Ar-Rabi yang menyertai tuan dalam peristiwa Uhud dan ia telah gugur sebagai syahid. Paman kedua anak ini mengambil harta bendanya, dan ia tidak meninggalkan sedikitpun, sedang kedua anak ini sukar mendapat jodoh kalau tidak berharta”. Bersabda Rasulullah Saw: “Allah akan memutuskan hukum-Nya”. Maka turunlah ayat hukum pembagian waris seperti tersebut di atas (an nisa ayat 11, 12)
Keterangan:
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar: “Berdasarkan Hadis tentang kedua putri Sa’ad bin Ar-Rabi, ayat ini turun berkenaan dengan kedua putri itu dan tidak berkenaann dengan Jabir, karena Jabir pada waktu itu belum mempunyai anak. Selanjutnya ia menerangkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan keduanya, mungkin ayat 11 pertama berkenaan dengan kedua putri Sa’ad dan bagian akhir dari ayat itu (an nisa ayat 12) berkenaan dengan kisah Jabir. Adapun maksud Jabir dengan kata-katanya ‘turunlah ayat 11’, ingin menyebutkan hal penetapan hukum waris bagi kalalah yang terdapat pada ayat selanjutnya (an nisa ayat 12)

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa orang jahiliyyah tidak memberikan harta waris kepada wanita dan pada anak laki-laki yang belum dewasa atau yang belum mampu berjihad. Ketika Abdurrahman (Saudara Hasan bin Tsabit) ahli Sya’ir yang masyhur meninggal, ia meninggalkan seorang istri bernama Ummu Kuhhah dan lima putri. Maka datanglah keluarga suaminya mengambil harta bendanya. Berkatalah Ummu Kuhhah kepada Nabi Saw mengadukan halnya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (an nisa ayat 11) yang menegaskan hak waris bagi anak-anak wanita dan (an nisa ayat 12) yang menegaskan hak waris bagi istri.

Diriwayatkan oleh Al-Qadh Isma’il dalam kitab Ahkamul Qur’an yang bersumber dari Abdul Malik bin Muhammad bin Hazm: bahwa peristiwa Sa’ad bin Ar-Rabi tentang turunnya ayat 127 surat an nisa adalah sebagai berikut: Amrah binti Hizam yang ditinggal gugur sebagai syahid di Uhud oleh suaminya (Sa’ad bin Ar-Rabi) menghadap kepada Nabi Saw membawa putrinya (dari Sa’ad bin Ar-Rabi) menuntut hak waris. Ayat tersebut menegaskan kedudukan dan hak wanita dalam hukum waris.

An-Nisa ayat 7

17.12 Add Comment
An-Nisa ayat 7
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.

Diriwayatkan oleh Abus-Syaikh dan Ibnu Hibban di dalam kitab Faraidh (ilmu waris) dari Al-Kalbi dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas: bahwa kebiasaan kaum Jahiliyyah tidak memberikan harta waris kepada anak wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa. Ketika seorang Anshar bernama Aus bin Tsabit meninggal dan meninggalkan 2 putri serta satu anak laki-laki yang masih kecil, datanglah dua orang anak pamannya yaitu Khalid dan Arfathah, yang menjadi ashabah. Mereka mengambil semua harta peninggalannya. Maka datanglah istri Aus bin Tsabit kepada Rasulullah Saw untuk menerangkan kejadian itu. Rasulullah Saw bersabda: “Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (an nisa ayat 7) sebagai penjelasan bagaimana hukum waris dalam Islam.

An-Nisa ayat 4

17.11 Add Comment
An-Nisa ayat 4
Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abi Saleh bahwa: biasanya kaum bapak menerima dan menggunakan maskawin tanpa seizin putrinya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (an nisa ayat 4) sebagai larangan terhadap perbuatan seperti tersebut di atas.

Ali-Imran ayat 199

17.11 Add Comment
Ali-Imran ayat 199
“Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepadamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya”.

Diriwayatkan oleh An-Nasai yang bersumber dari Anas. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Jabir: bahwa ketika datang berita kematian An-Najasyi (Raja Habasyah), bersabdalah Rasulullah Saw: “Mari kita salatkan”. Para sahabat bertanya: “Apakah kita salatkan seorang hamba habasyi?”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali-Imran ayat 199), sebagai penegasan bahwa orang yang meninggal itu adalah Mukmin.

Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak yang bersumber dari Abdullah bin Zubeir: bahwa turunnya ayat ini (Ali-Imran ayat 199) berkenaan dengan An-Najasyi.

Ali-Imran ayat 195

22.28 Add Comment


“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak mensia-siakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berjihad dan yang dibunuh, pastilah akan Kuhapus kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan pada sisi-Nya pahala yang baik”.

Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Sa’id bin Mansur, Tirmidzi, Al-Hakim dan Ibnu Abi Hatim, yang bersumber dari Ummu Salamah: bahwa Ummu Salamah berkata: “Wahai Rasulullah! saya tidak mendengar Allah menyebut khusus tentang wanita di dalam Al-Quran mengenai peristiwa hijrah”. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (Ali Imran ayat 195) sebagai penegasan atas pertanyaannya.

Ali-Imran ayat 190

22.27 Add Comment


“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. (Ali Imran : 190)

Diriwayatkan oleh At-Thabrani dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa orang Quraisy datang kepada orang Yahudi untuk bertanya: “Mukjizat apa yang dibawa Musa kepada kalian?”. Mereka menjawab: “Tongkat dan tangannya terlihat putih bercahaya”. Kemudian mereka bertanya kepada kaum Nashara: “Mukjizat apa yang dibawa Isa kepada kalian?”. Mereka menjawab: “Ia dapat menyembuhkan orang buta sejak lahir hingga dapat melihat, menyembuhkan orang berpenyakit sopak dan menghidupkan orang mati”. Kemudian mereka menghadap Nabi Saw dan berkata: “Hai Muhammad, coba berdoalah engkau kepada Tuhanmu agar gunung Shafa ini dijadikan emas”. Lalu Rasulullah Saw berdoa. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali-Imran ayat 190) sebagai petunjuk untuk memperhatikan apa yang telah ada yang akan lebih besar manfaatnya bagi orang yang menggunakan akalnya.

Ali-Imran ayat 188

04.13 Add Comment


“Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa dan bagi mereka siksa yang pedih”.

Diriwayatkan oleh As-Syaikhani dan yang lainnya yang bersumber dari Hamid bin Abdirrahim bin ‘Auf: bahwa Marwan berkata kepada juru pintunya: “Hai Rafi’ berangkatlah ke Ibnu Abbas, dan katakanlah kepadanya bahwa sekiranya orang akan disiksa karena merasa gembira dengan apa yang telah diperolehnya dan ingin dipuji akan perbuatan yang tidak mereka kerjakan, pasti kita semua akan disiksa”. Maka berkatalah Ibnu Abbas: “Apa yang menjadi masalah-masalah bagi kalian tentang ayat ini (Ali-Imran : 188)? Turunlah ayat ini berkenaan dengan ahli kitab. Ketika Nabi Saw bertanya kepada mereka tentang sesuatu, mereka menutupinya dengan memberikan jawaban yang tidak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan itu. Kemudian mereka keluar dan memberitahukan kepada kawan-kawannya dengan gembira bahwa mereka telah dapat menjawab pertanyaan Rasulullah dengan jawaban yang tidak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan itu, dengan harapan mendapat pujian atas perbuatannya”.

Diriwayatkan oleh As-Syaikhani yang bersumber dari Abu Sa’id Al-Khudri: bahwa apabila Rasulullah Saw pergi berjihad, beberapa orang munafik meninggalkan diri dan bergembira karena bisa tetap melaksanakan kesibukan sehari-harinya, tanpa ikut jihad bersama Rasulullah SAW. Akan tetapi apabila Rasulullah SAW telah tiba kembali dari medan jihadnya dengan membawa kemenangan, mereka meminta maaf dengan mengemukakan berbagai alasan sambil bersumpah dengan harapan perbuatannya itu terpuji tanpa ikut serta berjihad. Maka turunlah ayat tersebut diatas (Surat Ali Imran : 188).

Diriwayatkan oleh ‘Abdu didalam tafsirnya yang bersumber dari Zaid bin Aslam. Diriwayatkan pula oleh Abi Hatim dari beberapa tabi’in seperti itu juga: Bahwa ketika Rafi’ bin Khudaij dan Zaid bin Tsabit sedang duduk-duduk bersama-sama Marwan, berkatalah Marwan: “Tentang apakah turunnya ayat ini?” (Surat Ali-Imran ayat 188). Rafi menjawab: Turunnya ayat ini berkenaan dengan sebagian orang-orang Munafik. Apabila Rasulullah SAW akan berjihad, mereka meminta izin karena berhalangan dengan mengemukakan bahwa mereka sesungguhnya ingin ikut serta berjihad bersama Rasul, akan tetapi kesibukan sehari-hari tak dapat ditinggalkannya. Maka turunlah ayat ini berkenaan dengan mereka”. Marwan seolah-olah tidak percaya kepada Rafi’ sehingga Rafi’ pun merasa kaget dan gelisah. Maka berkatalah kepada Zaid bin Tsabit: “Demi Allah saya bertanya kepada wngkau, apakah engkau mengetahui kejadian yang aku katakan tadi?”. Zaid menjawab: “Ya”.

Keterangan:
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar: Berdasarkan kedua hadis tersebut di atas, atas dasar thariqatul jami’ dapat disimpulkan bahwa turunnya ayat tersebut di atas (Surat Ali Imran ayat 188) berkenaan dengan kedua peristiwa yang hampir bersamaan kejadiannya.
Selanjutnya Ibnu Hajar mengemukakan bahwa Al-Farra menceritakan tentang turunnya ayat ini berkenaan dengan kaum Yahudi yang tidak mengakui Muhammad sebagai Rasul dengan berkata: “Kami ahli kitab pertama, bersembahyang dan taat”.
Dijelaskan pula oleh Ibnu Jarir bahwa turunnya ayat ini (Ali-Imran ayat 188) berkenaan dengan semua kejadian di atas.

Ali-Imran ayat 186

11.35 Add Comment
Ali-Imran ayat 186
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnul Mundzir dengan sanad hasan yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas: bahwa ayat ini (Ali-Imran : 186) turun berkenaan dengan peristiwa Abu Bakar dengan Fanhas, tentang ucapannya: “Allah faqir dan kami kaya”.

Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari Ma’mar dari Az-Zuhri yang bersumber dari Abdurrahman bin Ka’b bin Malik: bahwa ayat ini (Ali-Imran : 186) berkenaan dnegan Ka’b bin Al-Asyraf yang mencaci maki Nabi Saw dan sahabat dengan Syi’ir.

Ali-Imran ayat 181

06.41 Add Comment
Ali-Imran ayat 181
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah msikin dan kami kaya”. Kami akan mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar. Dan Kami akan mengatakan (kepada mereka): “Rasakanlah olehmu azab yang membakar”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishak dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas: bahwa pada suatu ketika Abu Bakar masuk ke tempat pendidikan Taurat. Didapatinya orang-orang Yahudi sedang mengelilingi Fanhas. Ia berkata kepada Abu Bakar: “Demi Allah, hai Abu Bakar! kami tidak butuh kepada Allah, dan sesungguhnya Allah yang butuh kepada kami. Sekiranya Ia kaya, tidak akan meminjam apa-apa dari kami sebagaimana yang dianggap oleh sahabatmu (Muhammad)” (lihat surat Al-Baqarah: 245). Marahlah Abu Bakar kepadanya serta memukul mukanya. Fanhas berangkat menghadap Rasulullah Saw dan ia berkata: “Hai Muhammad! Lihat apa yang dilakukan sahabatmu terhadapku”. Nabi Saw bersabda: “Apa sebabnya engkau berbuat demikian wahai Abu Bakar?”. Abu Bakar menjawab: “Ya Rasulallah! Ia telah berkata dengan perkataan  yang sangat besar (dosanya), menganggap Allah itu miskin dan mereka kaya tidak butuh kepada Allah”. Fanhas memungkiri dan mendustakan ucapan Abu Bakar. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (Ali-Imran ayat 181) yang menegaskan sifat-sifat Yahudi yang keji.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas: Bahwa orang-orang Yahudi menghadap kepada Nabi Saw ketika turun ayat “Man dzalladzi yuqridlullaha qardlan hasanan” (Al-Baqarah: 245). Mereka berkata: “Hai Muhammad! Tuhanmu miskin, Ia meminta kepada hamba-Nya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali-Imran ayat 181) sebagai ancaman terhadap ucapan seperti ucapan Yahudi itu.

Ali-Imran ayat 172 dan 174

00.41 Add Comment



“(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peristiwa Uhud). Bagi orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar.” (Ali Imran : 172)

“Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah; mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Ali Imran : 174)

 

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Al-Ufi yang bersumber dari Ibnu Abbas: Bahwa Allah SWT telah menanamkan rasa takut di hati Abu Sufyan pada hari peristiwa Uhud setelah mampu mencerai-beraikan pasukan Islam. Kemudian ia pulang ke Mekah. Bersabdalah Nabi Muhammad Saw: “Abu Sufyan terpukul mentalnya, ia pulang, dan Allah menanamkan rasa takut di hatinya”.

Peristiwa Uhud itu terjadi pada bulan syawal. Sebulan kemudian, yaitu pada bulan Dzulqa’idah, pedagang Quraisy menuju ke Madinah dan berhenti di Badar As-Shugra. Di saat itu kaum Muslimin sedang menderita akibat luka-luka pertempuran Uhud. Rasulullah Saw menyeru para sahabat untuk berangkat menuju ke tempat mereka. Maka datanglah setan menakut-nakuti kekasih Allah (para sahabat) dengan berkata: “Sesungguhnya musuh telah siap sedia dengan bala tentara dan bekalnya untuk memerangimu”. Sehingga para sahabat enggan mengikuti Rasul. Rasulullah Saw bersabda: “Aku akan berangkat walau tak seorang pun ikut kepadaku”. Maka berdirilah Abu Bakar yang diikuti Umar, Utsman, Ali, Zubair, Sa’ad, Thalhah, Abdurrahman bin ‘Auf, Abdullah Mas’ud, Hudzaifah Ibnul Yaman, dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, sehingga mencapai jumlah tujuh puluh orang.

Mereka berangkat mencari Abu Sufyan, sehingga sampai ke as-Shafra. Maka Allah menurunkan ayat tersebut (Ali Imran : 172), sebagai pujian kepada orang yang menyambut seruan Allah dan Rasulullah (Ali Imran ayat 174).

 

Diriwayatkan oleh At-Thabrani dengan sanad yang shahih yang bersumber dari Ibnu Abbas: Bahwa ketika kaum musyrikin pulang dari uhud, mereka berkata: “Mengapa kalian bunuh Muhammad, dan merampas gadis Madinah. Alangkah buruknya perbuatan itu dan pulanglah kalian kembali!”.

Hali itu terdengar oleh Rasulullah Saw sehingga beliau menyiapkan pasukan yang menyambut baik seruannya dan mengejar kaum musyrikin hingga Hamra-ul Asad atau bi’ru Abi ‘Utbah. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali Imran ayat 172) sebagai pujian atas sambutan para sahabat. Dalam hadits itu pula dikemukakan bahwa Abu Sufyan pernah berkata kepada Anbi Saw: “hidupmu akan berakhir di musim pasar di Badar tempat kawan-kawanku dahulu terbunuh (di peristiwa Badar yang lalu)”.

Di antara para sahabat ada yang lesu dan enggan, terus pulang, sedang yang bersemangat bersiap siaga untuk berjihad dan berdagang. Ketika Rasulullah dan para sahabatnya sampai di Badar (di tempat musim pasar), tak seorang pun terdapat pasukan Abu Sufyan di sana. Mereka pun berdaganglah. Maka turunlah ayat di atas (Ali Imran ayat 174) yang menceritakan keadaan para sahabat yang mendapat nikmat dan karunia Allah.

 

Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih yang bersumber dari Abi Rafi’: Bahwa Nabi Saw mengutus Ali bin Abi Thalib memimpin pasukan mencari Abu Sufyan. Bertemulah mereka dengan seorang Badwi dari Khuza’ah, yang berkata: “Sesungguhnya kaum (Quraisy) telah berkumpul siap sedia untuk menggempur kalian”. Mereka berkata: “Cukuplah Allah yang akan membela kami, dan ia sebaik-baik penolong dan penjaga”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali Imran ayat 174) yang memuji kaum Muslimin yang berjuang di jalan Allah.

Ali-Imran ayat 161

02.29 Add Comment


“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan (ghanimah). Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan (ghanimah) itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”. (Ali Imran : 161)

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi yang bersumber dari Ibnu Abbas: Bahwa turunnya ayat ini (Ali Imran ayat 161) berkenaan dengan hilangnya sehelai permadani merah (ghanimah yang belum dibagikan) di waktu peristiwa Badar. Berkatalah beberapa orang yang ada: “Barangkali Rasulullah yang mengambilnya”. Ayat ini turun sebagai bantahan terhadap tuduhan tersebut.
Menurut Tirmidzi hadits ini Hasan.

Diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam kitab ‘Al-Kabir dengan sanad yang kuat yang bersumber dari Ibnu Abbas: Bahwa Rasulullah Saw berkali-kali mengutus pasukan ke medan jihad. Pada suatu waktu, ada pasukan yang kembali dan diantaranya ada yang membawa ghulul berupa kepala uncal dari mas. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali Imran ayat 161) sebagai larangan mengambil rampasan (ghanimah) sebelum dibagikan oleh Amir (pimpinan).

Ali-Imran ayat 165

02.29 Add Comment
Ali-Imran ayat 165
“Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peristiwa Uhud). Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peristiwa Badar) kamu berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari kesalahanmu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Umar bin Khattab: Bahwa Umar bin Khattab berkata: “Menderitanya orang-orang di dalam peristiwa Uhud akibat perbuatan mereka mengambil fida di Badar. Pada waktu peristiwa Uhud itu ada tujuh puluh sahabat yang mati syahid sebagian lari pontang-panting, terdesak, bercerai-berai, bahkan gigi Rasulullah yang keempat patah, topi besinya pecah sehingga berlumuran darah di mukanya”.
Allah menurunkan ayat tersebut di atas (Ali-Imran ayat 165) sebagai peringatan bahwa penderitaan tersebut akibat perbuatan mereka sendiri.

Ali-Imran ayat 169

02.29 2 Comments
Ali-Imran ayat 169
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki”.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim yang bersumber dari Ibnu Abbas. Diriwayatkan pula oleh Tirmidzi yang bersumber dari Jabir: Bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Allah menjadikan arwah saudara-saudaramu yang gugur di peristiwa Uhud sebagai burung-burung hijau yang mengunjungi sungai di surga dan makan buah-buahannya. Sampai menghampiri lampu mas dibawah naungan ‘Arsy. Ketika mereka mendapatkan makanan yang enak, minuman yang lezat dan tempat tidur yang empuk, mereka berkata: “Alangkah baiknya jika teman-teman kita mengetahui apa yang Allah telah jadikan untuk kita, sehingga mereka itu tidak segan berjihad dan tidak mundur dari pertempuran”. Allah berfirman kepada mereka: “Aku akan sampaikan hal kalian kepada mereka. Maka turunlah ayat tersebut (Ali-Imran ayat 169) yang menceritakan keadaan para syuhada”.

Ali-Imran ayat 143

02.27 Add Comment


“Sesungguhnya kamu mengharapkan mati (syahid) sebelum kamu menghadapinya; (sekarang) sungguh kami telah melihatnya sedang kamu menyaksikannya”. (Ali Imran : 143)


Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Al-‘Ufi yang bersumber dari Ibnu Abbas: Bahwa beberapa orang sahabat berkata: “Alangkah baiknya kalau kita mati syahid seperti orang-orang yang berjuang di Badar, atau mendapat kesempatan seperti pada peristiwa Badar mengalahkan kaum Musyrikin, tabah dalam ujian, mati syahid dengan memperoleh surga, atau hidup mendapat rezeki”. Maka Allah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengikuti pertempuran Uhud, tetapi ternyata mereka tidak tabah dan bertahan dalam pertempuran itu kecuali sebagian kecil diantara mereka yang dikehendaki Allah. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (Ali Imran ayat 143) sebagai peringatan atas ucapan mereka.

Ali-Imran ayat 144

02.27 Add Comment


Muhammad itu hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”

Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir yang bersumber dari Umar: Ketika para sahabat terpisah dari Rasulullah Saw di peristiwa Uhud, Umar naik gunung dan mendengar Yahudi berteriak: “Muhammad telah terbunuh!”. Umar berkata: “Tidak akan kubiarkan orang berkata Muhammad terbunuh, pasti akan kupenggal lehernya”. Dan pada saat itu Umar melihat Rasulullah Saw dan orang-orang kembali ke posnya masing-masing. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali-Imran ayat 144) yang menegaskan bahwa kematian seorang Nabi adalah soal yang biasa.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ar-Rabi’: Ketika kaum Mukminin mendapat musibah di peristiwa Uhud dengan luka-luka parah, ada yang menyebut-nyebut bahwa Nabiyullah telah terbunuh. Yang lain berkata: “Kalau dia benar-benar seorang Nabi, tentu tidak akan terbunuh”. Berkata yang lainnya: “Berjihadlah mengikuti jejak Rasulullah sehingga mendapat kemenangan atau mati syahid besertanya”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali-Imran ayat 144) berkenaan dengan peristiwa di atas.

Diriwayatkan oleh Al-Baihaki di dalam kitab Ad-Dalail yang bersumber dari Abi Najih: Bahwa seorang dari Muhajirin berpapasan dengan seorang Anshar yang berlumuran darah, dan berkata: “Apakah engkau tahu bahwa Muhammad telah terbunuh?” Ia menjawab: Jikalau Muhammad terbunuh ia telah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Berjuanglah kamu untuk membela agamamu”. Maka turunlah ayat tersebut (Ali-Imran ayat 144) yang menegaskan bahwa kematian seorang pemimpin tidaklah berarti pengikutnya boleh meninggalkan perjuangan.

Diriwayatkan oleh Ibnu Rahawaih di dalam musnadnya yang bersumber dari Az-Zuhri: Bahwa setan berteriak pada waktu peristiwa Uhud: “Muhammad telah terbunuh!” Ka’b bin Malik menyatakan bahwa dialah yang paling dahulu mengenali Rasulullah dari balik topi besinya. Ia pun berteriak sekuat tenaganya: “Ini dia Rasulullah”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali-Imran ayat 144) yang menegaskan Nabi Muhammad Saw sama halnya dengan nabi-nabi sebelumnya yang mungkin saja terbunuh.

Ali-Imran ayat 154

02.27 Add Comment


Kemudian setelah kamu berduka cita Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan daripada kamu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan Jahiliyyah, mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) disini”. Katakanlah: “sekiranya kamu berada dirumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah berbuat demikian untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati”.


Diriwayatkan oleh Ibnu Rahawaih yang bersumber dari Zubair: Bahwa Zubair berkata: “Aku yakin benar bahwa pada hari peristiwaUhud, kami merasakan ketakutan yang luar biasa, dan Allah mengirimkan rasa ngantuk, sehingga terlelap (kepalanya terkulai di dadanya). Demi Allah, aku mendengar seakan-akan dalam mimpi ucapan Mu’tib bin Qusyair: “Sekiranya kita punya hak campur tangan dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan terkalahkan di tempat ini”. Aku hafalkan kata-kata itu, kemudian Allah menurunkan ayat tentang kejadian itu (Ali Imran ayat 154).

Ali-Imran ayat 140

02.26 Add Comment


“Jika kamu (pada pertempuran Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada pertempuran Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebahagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang dhalim”. (Ali Imran : 140)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari ‘Ikrimah: Ketika terlambat berita dari medan jihad, wanita-wanita berusaha mencari berita itu. Tiba-tiba datanglah dua orang laki-laki naik unta. Seorang wanita bertanya kepadanya tentang keadaan Rasulullah. Laki-laki itu menjawab: “Beliau dalam keadaan sehat wal’afiat”. Si wanita tadi berkata: “Kami tidak berduka cita kalau Allah menjadikan hamba-hamba-Nya menjadi syuhada”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali Imran ayat 140) berkenaan dengan wanita tadi.

Ali-Imran ayat 130

02.26 Add Comment
Ali-Imran ayat 130
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat kemenangan (sukses)”. (Ali-Imran : 130)


Diriwayatkan oleh Al-Faryabi yang bersumber dari Mujahid: Dikemukakan terdapat orang-orang yang berjual beli dengan kredit (dengan bayaaran berjangka waktu). Apabila telah tiba waktu pembayaran dan tidak membayar, bertambahlah bunganya, dan ditambahnya pula jangka waktu pembayarannya”, maka turunlah ayat ini (Ali-Imran ayat 130) sebagai larangan atas perbuatan seperti itu.

Diriwayatkan oleh Al-Faryabi yang bersumber dari ‘Atha: Bahwa di zaman jahiliyyah, Tsaqif berhutang kepada Banin Nadlir. Ketika telah tiba waktu membayar, Tsaqif berkata: “Kami bayar bunganya dan undurkan waktu pembayarannya”. Maka turunlah ayat tersebut (Ali-Imran ayat 130) sebagai larangan atas perbuatan seperti itu.

Ali-Imran ayat 128

02.25 Add Comment


“Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima tobat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang dhalim”. (Ali Imran : 128)


Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim yang bersumber dari Anas: Bahwa Nabi Saw patah giginya yang keempat di peristiwa Uhud dan berlumuran darah karena luka di mukanya. Beliau bersabda: “Barangsiapa bisa bahagia suatu kaum yang berbuat demikian terhadap Nabinya, yang mengajak mereka kepada Tuhannya”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali Imran : 128)

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari yang bersumber dari Ibnu Umar, diriwayatkan pula oleh Bukhari yang bersumber dari Abi Hurairah: Bahwa Ibnu Umar mendengar Rasulullah Saw berdo’a: “Ya Allah, semoga Allah melaknat si Fulan, semoga Allah melaknat Al-Harts bin Hisyam, Ya Allah semoga Allah melaknat Suhail bin Amr, Ya Allah semoga Allah melaknat Shafwan bin Umayyah”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali Imran : 128) sebagai teguran kepada Rasulullah Saw atas do’anya. Kemudian mereka semua dimaafkan.

Keterangan:
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar, berdasarkan kedua hadits di atas, atas dasar thariqatul jam’i dapat disimpulkan bahwa:
1. Nabi Saw mendoakan kecelakaan di dalam shalatnya bagi orang-orang itu setelah peristiwa yang tersebut pada hadits pertama pada peristiwa Uhud.
2. turunnya ayat tersebut di atas (Ali Imran ayat 128) berkenaan dengan peristiwa yang tersebut dalam hadits pertama dan timbul akibat peristiwa itu (yang tersebut dalam hadits kedua).
Akan tetapi setelah meneliti hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang bersumber dari Abi Hurairah, timbullah suatu kesulitan dalam menetapkan sebab turunnya ayat tersebut di atas. Hadits itu mengemukakan bahwa pada suatu waktu Rasulullah Saw berdoa setiap kali shalat subuh: “Ya Allah semoga Allah melaknat kaum Ri’l, Dzakwan dan Ushayyah, sampai Allah menurunkan ayat tersebut di atas (Ali Imran ayat 128).
Adapun kesulitan dalam menetapkan sebab turunnya ayat tersebut di atas (Ali Imran ayat 128) ialah, bahwa 2 hadits pertama mengemukakan ayat itu turun pada peristiwa Uhud. Sedang peristiwa Ri’l dan Dzakwan yang tersebut dalam hadits Muslim terjadi sesudahnya.
Selanjutnya Ibnu Hajar mengemukakan bahwa hadits riwayat Muslim ini ma’lul, dalam pemberitahuannya mudraj.
Dan kata-kata: “sampai Allah menurunkan ayat...” adalah munqathi, karena dalam hadits muslim, ada yang tidak disebutkan namanya. Riwayat seperti ini tidak sah. Akan tetapi dapat saja terjadi ayat tersebut (Ali Imran ayat 128) lambat turunnya sehingga mencakup keseluruhan peristiwa yang tersebut dalam ketiga hadits diatas.

Diriwayatkan oleh Bukhari didalam tarikhnya dan Ibnu Ishak yang bersumber dari Salim bin Abdillah bin Umar (Hadits ini Gharib): Bahwa seorang laki-laki Quraisy datang kepada Nabi Saw dan dengan sinis berkata: “Engkau melarang mencaci maki?” sambil membalik dan menungging sehingga terlihat kemaluannya. Nabi Saw mengutuknya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali Imran ayat 128) yang menegaskan bahwa orang itu dhalim. Beberapa lama kemudian orang itu masuk Islam, dan menjadi seorang saleh.

Ali-Imran ayat 124 - 125

02.21 Add Comment


“(ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mukmin: “Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu Malaikat yang diturunkan (dari langit)?” (Ali Imran : 124)

“Ya (cukup)! Jika kamu bersabar dan bersiap siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda”. (Ali Imran : 125)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari As-Syu’bi: Bahwa kaum Muslimin mendengar kabar pada waktu peristiwa Badar, bahwa Karz bin Jabir Al-Muharibi memberikan bala bantuan kepada kaum musyrikin, sehingga membimbangkan mereka. Maka Allah menurunkan ayat tersebut (surah Ali Imran : 124 – 125) sebagai penjelasan bahwa Allah memberikan bantuan sebanyak 3000 malaikat. Ketika Karz mendengar kekalahan kaum Musyrikin, ia membatalkan bala bantuannya, demikian juga Allah membatalkan bantuan dengan 5000 malaikat.

Ali-Imran ayat 122

02.19 Add Comment


“(Ingatlah), ketika dua golongan daripadamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu, karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal”. (Ali Imran : 122)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Abu Ya’la yang bersumber dari Al-Miswar bin Mikhramah: Bahwa Al-Miswar bin Mikhramah berkata kepada Abdurrahman bin ‘Auf: “Coba ceritakan kepadaku kisah pertempuran Uhud”. Ia menjawab: “Bacalah surat Ali Imran setelah ayat 120, disana akan saudara dapatkan kisah kami”. Selanjutnya Abdurrahman menjelaskan yang dimaksud dengan “thaifatani” dalam ayat 122 surat Ali Imran itu ialah mereka yang segan menghadapi musuh, bahkan ingin mengadakan gencatan senjata dengan kaum musyrikin. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ayat 143 menerangkan peringatan Tuhan kepada kaum Mukminin yang ingin bertemu dengan musuh pada waktu itu sudah dihadapinya. Adapun ayat 144 menerangkan bahwa Allah menentramkan kaum Mukminin, ketika tersiar berita yang bersumber dari teriakan setan bahwa Rasulullah telah terbunuh. Abdurrahman bin ‘Auf selanjutnya menjelaskan bahwa ayat “amanatan nu’asan” dalam ayat 154 ialah sebagai pertolongan Tuhan kepada kaum Mukminin dengan menjadikan mereka ngantuk dan tertidur.

Diriwayatkan oleh As-Syaikhani yang bersumber dari Jabir bin Abdillah: Bahwa yang dimaksud dengan “thaifatani minkum” dalam ayat 122 surat Ali Imran ialah Bani Salamah dan Bani Haritsah.

Ali-Imran ayat 113 – 115

08.57 4 Comments


“Mereka itu tidak sama; diantara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (shalat)”. (Ali-Imran : 113)
“Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengajarkan) berbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang shaleh”. (Ali-Imran : 114)
“Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)nya dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa”. (Ali-Imran : 115)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, At-Thabrani dan Ibnu Mandah yang bersumber dari Ibnu Abbas: Bahwa ketika Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Sa’yah, Usaid bin Sa’yah, As’ad bin ‘Abd dan beberapa orang lainnya lagi dari kaum Yahudi masuk Islam, beriman membenarkan Muhammad dan mencintai Islam, berkatalah pendeta-pendeta Yahudi dan orang-orang kufur diantara mereka: “Tiada akan iman kepada Muhammad dan pengikutnya kecuali orang-orang yang paling jahat diantara kami, karena sekiranya mereka itu orang-orang yang paling baik diantara kami, tidak akan meninggalkan agama nenek moyangnya dan pergi ke agama lain”. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (Ali-Imran : 113) yang menegaskan adanya perbedaan diantara orang Yahudi yang jujur karena beriman kepada Muhammad dan kufur kepadanya.

Diriwayatkan oleh Ahmad dan yang lainnya yang bersumber dari Ibnu Mas’ud: Bahwa ketika Rasulullah Saw mengakhirkan shalat isya, didapatinya di dalam masjid orang-orang sedang menunggu shalat. Maka bersabdalah beliau: “Ketahuilah, sesungguhnya tak ada seorangpun dari penganut agama lain yang ingat kepada Allah (shalat) di saat malam begini, selain kalian”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali-Imran : 113, 114, 115) yang melukiskan sifat-sifat kaum Mu’minin.

Ali-Imran ayat 118

08.57 Add Comment


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang diluar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”. (Ali Imran : 118)

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Ishak yang bersumber dari Ibnu Abbas: Bahwa sebagian kaum Muslimin ada yang mengadakan hubungan dengan segolongan kaum yahudi, karena di zaman Jahiliyyah pernah menjadi tetangga dan bersekutu dalam peperrangan. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali Imran : 118) yang melarang mereka mengadakan hubungan yang intim untuk menghindari fitnah.

Ali-Imran ayat 99 – 103

20.59 Add Comment



“Katakanlah: “hai ahli kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan?” Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan”. (Ali Imran : 99)

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman”. (Ali Imran : 100)

“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (Agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (Ali Imran : 101)

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (Ali Imran : 102)

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu, lalu menjadikan kamu dengan nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikian Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Ali Imran : 103)


Diriwayatkan oleh Al-Faryabi dari Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas: Bahwa ketika kaum Aus dan Khajrajj duduk-duduk, berceritalah mereka tentang permusuhannya di zaman Jahiliyyah, sehingga bangkitlah amarahnya, sehingga masing-masing memegang senjatanya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali Imran : 101, 102, 103) yang melerai mereka.

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishak dan Abus-Syaikh yang bersumber dari Zaid bin Aslam: Bahwa seorang Yahudi yang bernama Syash bin Qais, lalu di hadapan kaum Aus dan Khajraj yang sedang bercakap-cakap riang gembira. Si Yahudi tadi merasa benci melihat keintiman mereka, padahal asalnya bermusuhan. Ia menyuruh seorang pemuda anak buahnya untuk ikut serta bercakap-cakap dengan mereka dan membangkitkan cerita di zaman Jahiliyyah waktu pertempuran Bu’ats. Mulailah kaum Aus dan Khajraj berselisih dan menyombongkan kegagahan masing-masing, sehingga tampillah Aus bin Qaizhi dari golongan Aus, dan Jabbar bin Sakhr dari golongan Khajraj caci mencaci dan menimbulkan amarah kedua belah pihak serta berloncatlah untuk berkelahi. Hal ini sampai kepada Rasulullah Saw sehingga beliau segera datang dan memberi nasehat serta mendamaikannya. Mereka tunduk dan taat. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali Imran : 100), berkenaan dengan Aus dan Jabbar serta orang-orang yang menjadi pengikutnya, dan surat Ali-Imran ayat 99 berkenaan dengan Syash bin Qais yang telah mengadu domba kaum Muslimin.

Ali-Imran ayat 97

20.57 Add Comment


“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah; yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya. Barangsiapa yang kafir (terhadap kewajiban haji), maka bahwasanya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan  sesuatu) dari semesta alam”.

Diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur yang bersumber dari ‘Ikrimah: Bahwa ketika turun ayat 85 surat Ali-Imran berkatalah kaum Yahudi: “Sebenarnya kami ini Muslimin”. Bersabdalah Nabi Saw kepada mereka: “Allah telah mewajibkan kaum Muslimin naik Haji ke Baitullah”. Mereka berkata: “Tidak diwajibkan kepada kami”. Mereka menolak menjalankan ibadah haji. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali-Imran : 97) yang menegaskan kewajiban seorang muslim, sedang yang menolak melaksanakannya adalah kafir”.

Ali-Imran ayat 85 - 89

21.43 4 Comments


Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi”. (Ali Imran : 85)
“Bagaimana Allah akan memimpin suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar Rasul, dan keterangan-keterangan pun telah datang kepada mereka? Allah tidak memimpin orang-orang yang lalim”. (Ali Imran : 86)
“Mereka itu, balasannya ialah: Bahwasanya laknat Allah ditimpakan kepada mereka (demikian pula) laknat para malaikat dan manusia seluruhnya”. (Ali Imran : 87)
“Mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh”. (Ali Imran : 88)
“Kecuali orang-orang yang tobat sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Ali Imran : 89)

Diriwayatkan oleh An-Nasai, Ibnu Hibban dan Al-Hakim yang bersumber dari Ibnu Abbas: Bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar murtad setelah masuk Islam, dan Ia menyesal atas kemurtadannya. Ia minta kepada kaumnya untuk mengutus seseorang menghadap kepada Rasulullah Saw untuk menanyakan apakah diterima tobatnya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali-Imran : 85 – 89), dan disampaikan oleh utusan itu kepadanya sehingga ia Islam kembali.

Diriwayatkan oleh Musaddad di dalam musnadnya dan Abdurrazaq yang bersumber dari Mujahid: Bahwa Al-Harts bin Suwaid menghadap kepada Nabi Saw dan masuk Islam. Kemudian pulang kepada kaumnya dan kufur lagi. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Ali-Imran : 85 – 89). Ayat itu dibacakan kepadanya oleh salah seorang kaumnya. Maka berkatalah Al-Harts: “Sesungguhnya engkau benar, dan Rasulullah lebih benar daripadamu, dan sesungguhnya Allah yang paling benar diantara tiga”. Kemudian ia kembali masuk Islam dan menjadi seorang Islam yang patuh.