An-Nisa ayat 33

11.24 Add Comment
An-Nisa ayat 33
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam sunannya dari Ibnu Ishak yang bersumber dari Dawud bin Al-Hushain: bahwa Daud bin Al-Hushain membacakan ayat “walladzina ‘aqadat aimanukum” kepada Ummu Sa’d binti Rabi’ yang tinggal di rumah Abu Bakar. Akan tetapi Ummu Sa’d berkata: “Salah! bukan demikian, hendaknya kau baca “wal ladzina ‘aqadat aimanukum”, karena ayat ini (An-Nisa ayat 33) turun berkenaaan dengan peristiwa Abu Bakar yang bersumpah tidak akan memberi waris kepada anaknya, karena tidak mau masuk Islam. Dan setelah anak itu masuk Islam diperintahkan untuk diberi warisan sesuai dengan ayat itu.

An-Nisa ayat 32

08.15 Add Comment


“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang-orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan dan bagi wanita pun ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonkanlah kepada Allah sebahagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Al-Hakim yang bersumber dari Ummu Salamah: bahwa Ummu Salamah berkata: “Kaum laki-laki berjihad, sedangkan wanita tidak, dan kita hanya mendapat setengah bagian warisan laki-laki”. Allah menurunkan ayat ini (An Nisa ayat 32) sebagai teguran untuk tidak beriri hati kepada ketetapan Allah. Dan bahkan dengan itu pula turun ayat (Al Ahzab ayat 35) sebagai penjelasan bahwa Allah tidak membedakan antara Muslimin dan Muslimat dalam mendapat ampunan dan pahala.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa seorang wanita mengadu pada Rasulullah Saw dengan berkata: “Ya Nabiyallah! laki-laki mendapat dua bagian kaum wanita dalam waris dan dua orang saksi wanita sama dengan seorang saksi laki-laki. Apakah didalam beramal pun demikian juga?” (yaitu amal yang baik seorang wanita mendapatkan pahala setengah dari jumlah pahala laki-laki). Maka Allah turunkan ayat tersebut di atas sebagai penegasan bahwa laki-laki dan wanita akan mendapat imbalan yang sama sesuai dengan amalnya.

An-Nisa ayat 24

14.09 Add Comment


“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu campuri diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan An-Nasai yang bersumber dari Abi Sa’id Al-Khudri: bahwa kaum Muslimin mendapat tawanan wanita yang mempunyai suami dari pertempuran Authas. Mereka tidak mau dicampuri oleh yang berhak terhadap tawanan itu. Maka bertanyalah kaum Muslimin kepada Rasulullah Saw hingga turunlah ayat tersebut di atas (An Nisa ayat 24) sebagai penegasan hukumnya.

Diriwayatkan oleh At-Thabrani yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa turunnya ayat ini (An Nisa ayat 24) di waktu peristiwa Hunain, tatkala Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin dan dapat tawanan beberapa wanita ahli kitab. Ketika akan dicampuri mereka menolak dengan alasan bersuami, dan kaum Muslimin bertanya kepada Rasulullah Saw. Rasul menjawabnya berdasarkan ayat tersebut di atas.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ma’mar bin Sulaiman yang bersumber dari bapaknya: bahwa orang Hadhrami membebani kaum laki-laki membayar mahar (maskawin) dengan harapan dapat memberatkannya (sehingga tidak dapat membayar pada waktunya untuk mendapatkan tambahan pembayaran), maka turunlah ayat tersebut di atas (An Nisa ayat 24) sebagai ketentuan pembayaran maskawin atas keridaan kedua belah pihak.

An-Nisa ayat 23

06.44 Add Comment


“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepesusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraij : bahwa Ibnu Juraij bertanya kepada ‘Atha tentang “wahala ilu abna ikumulladzina min ashlabikum” (An-Nisa ayat 23) ‘Atha menjawab: “Pernah kami memperbincangkan bahwa ayat itu turun mengenai pernikahan Nabi kita Saw kepada mantan istri Zaid bin Haritsah (anak angkat Nabi)”. Kaum musyrikin mempergunjingkannya hingga turun ayat tersebut (An-Nisa ayat 23) dan surat Al-Ahzab ayat 4 dan 40 sebagai penegasan dibenarkannya perkawinan kepada mantan istri anak angkat.

An-Nisa ayat 22

21.56 Add Comment


“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, Al-Faryabi dan At-Thabrani yang bersumber dari Adi bin Tsabit dari seorang Anshar: bahwa Abu Qais bin Al-Aslat seorang Anshar yang saleh meninggal dunia. Anaknya melamar istri Abu Qais (ibu tiri). Berkata wanita itu: “Saya menganggap engkau sebagai anakku, dan engkau termasuk dari kaummu yang saleh”. Maka menghadaplah wanita itu kepada Rasulullah Saw untuk menerangkan halnya. Nabi Saw bersabda: “Pulanglah engkau ke rumahmu”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 22) sebagai larangan mengawini bekas istri bapaknya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d yang bersumber dari Muhammad bin Ka’ab Al-Qarzhi bahwa di zaman Jahiliyah anak yang ditinggalkan mati oleh bapaknya lebih berhak atas diri ibu tirinya, apakah akan mengawininya atau mengawinkan kepada orang lain menurut kehendaknya.
Ketika Abu Qais bin Al-Aslat meninggal, Muhsin bin Qais (anaknya) mewarisi istri ayahnya, dan tidak memberikan suatu waris apapun kepada wanita itu.
Menghadaplah wanita tersebut kepada Rasulullah Saw menerangkan halnya. Maka bersabda Rasulullah: “Pulanglah, mudah-mudahan Allah akan menurunkan ayat mengenai halmu”. Maka turunlah ayat tersebut (An-Nisa ayat 19, 22) sebagai ketentuan waris bagi istri dan larangan mengawini ibu tiri.

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Sa’d yang bersumber dari Az-Zuhri bahwa turunnya ayat ini (An-Nisa ayat 19, 22) berkenaan dengan sebagian besar orang-orang Anshar yang apabila seseorang meninggal, maka istri yang bersangkutan menjadi milik wali si mati dan menguasainya sampai meninggal.

An-Nisa ayat 19

05.58 Add Comment
An-Nisa ayat 19
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya (mahar), terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhori, Abu Dawud dan An-Nasai yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa di zaman Jahiliyah apabila seorang laki-laki meninggal, wali si mati lebih berhak daripada istri yang ditinggalkannya. Sekiranya si wali ingin mengawininya atau mengawinkan kepada orang lain, ia lebih berhak daripada keluarga wanita itu. Maka turunlah ayat tersebut (an nisa ayat 19) sebagai penegasan tentang kedudukan wanita yang ditinggal suaminya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dengan sanad hasan yang bersumber dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif (Hadits ini diperkuat oleh riwayat Ibnu Jarir yang bersumber dari Ikrimah), bahwa ketika Abu Qais bin Al-Aslat meninggal, anaknya ingin mengawini istri ayahnya (ibu tiri). Perkawinan seperti ini adalah kebiasaan di jaman jahiliyah. Maka Allah menurunkan ayat tersebut (an nisa ayat 19), yang melarang menjadikan wanita sebagai harta waris.