An-Nisa Ayat 105-116

20.32 Add Comment


“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Alah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang orang yang tidak bersalah, karena (membela) orang-orang yang khianat”. (An-Nisa ayat 105)

“Dan mohon ampunlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa ayat 106)

“Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa”. (An-Nisa ayat 107)

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, pdahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan”. (An-Nisa ayat 108)

“Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)?”. (An-Nisa ayat 109)

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudia ian mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa ayat 110)

“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (An-Nisa ayat 111)

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata”. (An-Nisa ayat 112)

“sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka telah bermaksud untuk menyesatkanmu, tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat memberi mudarat sedikit pun kepadamu, dan (juga karena) Allah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”. (An-Nisa ayat 113)

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisiskan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang-orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar”. (An-Nisa ayat 114)

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (An-Nisa ayat 115)

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”. (An-Nisa ayat 116)


Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Hakim dan lainnya yang bersumber dari Qatadah bin An-Nu’man: bahwa diantara keluarga serumah Bani Ubairiq, yaitu Bisyr dan Mubasyir terhadap seorang munafik yang bernama Busyair yang hidupnya melarat sejak jahiliyyah. Ia pernah menggubah syair untuk mencaci maki para sahabat Rasulullah Saw dan menuduh bahwa syair itu ciptaan orang lain.
Adapun makanan orang melarat ialah korma dan syair (semacam kacang-kacangan) yang didatangkan dari Madinah. (sedang makanan orang-orang kaya ialah terigu).
Pada suatu ketika Rifa’ah bin Zaid (paman Qatadah) membeli terigu beberapa karung yang kemudian disimpan di gudangnya tempat penyimpanan baju besi dan pedang. Di tengah malam gudang itu dibongkar orang dan semua isinya dicuri. Pada waktu pagi hari Rifa’ah datang kepada Qatadah dan berkata: “Wahai anak saudaraku, tadi malam gudang kita dibongkar orang, makanan dan senjata dicurinya”. Kemudian mereka selidiki dan bertanya-tanya di sekitar kampung itu, ada orang yang mengatakan, bahwa semalam Bani Ubairiq menyalakan api, memasak terigu (makanan orang kaya). Berkatalah Bani Ubairiq: “Kami telah bertanya-tanya di kampung ini, demi Allah kami yakin bahwa pencurinya adalah Labib bin Sahl”. Labib bin Sahl terkenal seorang muslim yang jujur. Ketika Labib mendengar ucapan Ubairiq, ia naik drah dan menarik pedangnya sambil berkata dengan marahnya: “Engkau tuduh aku mencuri?. Demi Allah pedang ini akan ikut campur berbicara, sehingga terang dan jelas siapa si pencuri itu”. Bani Ubairiq berkata: “Jangan berkata kami yang menuduhmu, sebenarnya bukanlah kamu pencurinya”. Maka berangkatlah Qatadah dan Rifa’ah meneliti dan bertanya-tanya di sekitar kampung itu sehingga yakin bahwa pencurinya adalah Bani Ubairiq. Maka berkatalah Rifa’ah: “Wahai anak saudaraku, bagaimana sekiranya engkau menghadap Rasulullah untuk menerangkan hal ini?”. Maka berangkatlah Qatadah menghadap Rasulullah dan menerangkan adanya sebuah keluarga yang tidak baik di kampung itu, yaitu pencuri makanan dan senjata kepunyaan pamannya. Pamannya menghendaki agar senjatanya saja yang dikembalikan, dan membiarkan makanan itu untuk mereka. Maka bersabdalah Rasulullah Saw: “Saya akan teliti hal ini”.
Ketika Bani Ubairiq mendengar hal itu, mereka mendatangi salah seorang keluarganya yang bernama Asir bin Urwah untuk menceritakan peristiwa itu. Maka berkumpullah orang-orang sekampungnya serta menghadap Rasulullah Saw dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qatadah bin Nu’man dan pamannya menuduh seorang yang baik diantara kami, orang jujur dan lurus, yaitu menuduh mencuri tanpa bukti apapun”.
Ketika Qatadah berhadapan dengan Rasulullah, ia pun ditegur dengan sabdanya: “Kau menuduh mencuri kepada seorang muslim yang jujur dan lurus tanpa bukti apapun?”. Kemudian Qatadah pulang untuk menceritakan hal itu kepada pamannya. Berkatalah Rifa’ah: “Allahul musta’anu” (Allah tempat kita berlindung). Tidak lama kemudian turun ayat ini (An-Nisa ayat 105) sebagai teguran kepada Nabi Saw berkenaan dengan pembelaannya terhadap Bani Ubairiq, dan surat An-Nisa ayat 106-114 berkenaan dnegan ucapan Nabi Saw terhadap Qatadah.
Setelah itu Rasulullah Saw membawa sendiri senjata yang hilang itu dan menyerahkannya kepada Rifa’ah, sedang Busyair menggabungkan diri dengan kaum Musyrikin dan menumpang pada Sullafah binti Sa’ad. Maka Allah menurunkan ayat selanjutnya (An-Nisa ayat 115-116) sebagai teguran kepada orang-orang yang menggabungkan diri dengan musuh setelah jelas kepadanya petunjuk Allah.


Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad di dalam kitab At-Thabaqat dengan sanadnya yang bersumber dari Mahmud bin Labib: bahwa Busyair bin Al-Harts membongkar gudang Rifa’ah bin Zaid (paman Qatadah bin Nu’man) dan mencuri makanan serta dua set baju besi. Qatadah mengadu kepada Nabi Saw tentang peristiwa itu yang kemudian ditanyakan kepada Busyair oleh Nabi Saw. Akan tetapi ia mungkir, malah menuduh Labib bin Sahl seorang bangsawan lagi hartawan. Maka turunlah ayat ini (An-Nisa ayat 105) yang menerangkan bahwa Busyair pendusta sedang Labib seorang yang bersih.
Setelah turun ayat ini (An-Nisa ayat 105) yang menunjukkan kepalsuan Busyair, ia murtad dan lari ke Mekah menggabungkan diri kepada kaum musyrikin serta menumpang di rumah Sullafah binti Sa’ad. Ia mencaci maki Nabi dan kaum muslimin. Maka turunlah ayat selanjutnya (An-Nisa ayat 115) berkenaan dengan peristiwa Busyair ini.
Kemudian Hasan bin Tsabit menggubah Syi’ir menyindir Busyair sehingga ia kembali pada bulan Rabi’ tahun keempat Hijrah.

An-Nisa ayat 101-103

20.58 4 Comments


“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qasarkan salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (An Nisa : 101)
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pergi ke belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum salat, lalu bersalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau kamu memang sakit; dan bersiap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang yang kafir itu”.  (An Nisa : 102)
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlahh Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (An Nisa : 103)


Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ali: dikemukakan bahwa kaum Bani Najjar bertanya kepada Rasulullah Saw: “Kami tukang bepergian berniaga, bagaimana salat kami?”. Maka Allah menurunkan sebagian ayat ini (An Nisa ayat 101) yang membolehkan salat diqasar. Wahyu tentang ayat ini kemudian terputus sampai “minas salati”. Di dalam suatu pertempuran yang terjadi setelah turunnya ayat di atas (An Nisa ayat 101), Rasulullah Saw mendirikan salat Dhuhur. Di saat itulah kaum musyrikin berkata: “Muhammad dan teman-temannya memberi kesempatan kepada kita untuk menggempur dari belakang, tidakkah kita perhebat serbuan kepada mereka sekarang ini?”. Maka berkatalah yang lainnya: “sebaiknya kita ambil kesempatan lain, karena nanti pun mereka akan melakukan perbuatan serupa di tempat yang sama”. Maka Allah menurunkan wahyu antara kedua salat itu (Dhuhur dan Ashar) sebagai lanjutan ayat ini (An Nisa ayat 101) yaitu “in khiftum” sampai “adzabun muhina” (An Nisa ayat 102) dan kemudian ayat salatul khauf (An Nisa ayat 103).
 
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-hakim dan dishahihkan oleh Al-Baihaki di dalam Kitabnya Ad-dalail yang bersumber dari Ibnu ‘Iyasy Az-Zurqi. Diriwayatkan pula oleh At-Turmudzi seperti peristiwa di atas yang bersumber dari Abu Hurairah. Demikian juga Ibnu Jarir bin Abdillah yang bersumber dari Ibnu Abbas: Dikemukakan ketika Rasulullah Saw bersama sahabatnya di Asfan datanglah serbuan kaum musyrikin, yang diantaranya terdapat Khalid bin Walid. Mereka berada di arah kiblat. Kemudian Nabi Saw mengimami salat dhuhur. Kaum musyrikin berkata: “Alangkah baiknya kalau kita bisa membunuh pimpinannya dalam keadaan demikian”. Yang lainnya berkata: “Sebentar lagi akan datang waktu salat dan mereka lebih mencintai salat daripada anaknya  ataupun dirinya sendiri”. Lalu turunlah Jibril antara waktu dhuhur dan ashar membawa ayat ini (An Nisa ayat 102).

Diriwayatkan oleh A-Bukhari yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa turunnya ayat “in kaana bikum adzam mimmatharin au kuntum mardha” berkenaan dengan Abdurrahman bin Auf pada waktu menderita luka parah, ayat ini (An Nisa ayat 102) memperingatkan kepada orang yang sakit/luka yang tidak mampu menyandangkan senjatanya untuk tetap siap siaga.