An-Nisa Ayat 105-116

20.32 Add Comment


“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Alah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang orang yang tidak bersalah, karena (membela) orang-orang yang khianat”. (An-Nisa ayat 105)

“Dan mohon ampunlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa ayat 106)

“Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa”. (An-Nisa ayat 107)

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, pdahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan”. (An-Nisa ayat 108)

“Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)?”. (An-Nisa ayat 109)

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudia ian mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa ayat 110)

“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (An-Nisa ayat 111)

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata”. (An-Nisa ayat 112)

“sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka telah bermaksud untuk menyesatkanmu, tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat memberi mudarat sedikit pun kepadamu, dan (juga karena) Allah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”. (An-Nisa ayat 113)

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisiskan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang-orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar”. (An-Nisa ayat 114)

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (An-Nisa ayat 115)

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”. (An-Nisa ayat 116)


Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Hakim dan lainnya yang bersumber dari Qatadah bin An-Nu’man: bahwa diantara keluarga serumah Bani Ubairiq, yaitu Bisyr dan Mubasyir terhadap seorang munafik yang bernama Busyair yang hidupnya melarat sejak jahiliyyah. Ia pernah menggubah syair untuk mencaci maki para sahabat Rasulullah Saw dan menuduh bahwa syair itu ciptaan orang lain.
Adapun makanan orang melarat ialah korma dan syair (semacam kacang-kacangan) yang didatangkan dari Madinah. (sedang makanan orang-orang kaya ialah terigu).
Pada suatu ketika Rifa’ah bin Zaid (paman Qatadah) membeli terigu beberapa karung yang kemudian disimpan di gudangnya tempat penyimpanan baju besi dan pedang. Di tengah malam gudang itu dibongkar orang dan semua isinya dicuri. Pada waktu pagi hari Rifa’ah datang kepada Qatadah dan berkata: “Wahai anak saudaraku, tadi malam gudang kita dibongkar orang, makanan dan senjata dicurinya”. Kemudian mereka selidiki dan bertanya-tanya di sekitar kampung itu, ada orang yang mengatakan, bahwa semalam Bani Ubairiq menyalakan api, memasak terigu (makanan orang kaya). Berkatalah Bani Ubairiq: “Kami telah bertanya-tanya di kampung ini, demi Allah kami yakin bahwa pencurinya adalah Labib bin Sahl”. Labib bin Sahl terkenal seorang muslim yang jujur. Ketika Labib mendengar ucapan Ubairiq, ia naik drah dan menarik pedangnya sambil berkata dengan marahnya: “Engkau tuduh aku mencuri?. Demi Allah pedang ini akan ikut campur berbicara, sehingga terang dan jelas siapa si pencuri itu”. Bani Ubairiq berkata: “Jangan berkata kami yang menuduhmu, sebenarnya bukanlah kamu pencurinya”. Maka berangkatlah Qatadah dan Rifa’ah meneliti dan bertanya-tanya di sekitar kampung itu sehingga yakin bahwa pencurinya adalah Bani Ubairiq. Maka berkatalah Rifa’ah: “Wahai anak saudaraku, bagaimana sekiranya engkau menghadap Rasulullah untuk menerangkan hal ini?”. Maka berangkatlah Qatadah menghadap Rasulullah dan menerangkan adanya sebuah keluarga yang tidak baik di kampung itu, yaitu pencuri makanan dan senjata kepunyaan pamannya. Pamannya menghendaki agar senjatanya saja yang dikembalikan, dan membiarkan makanan itu untuk mereka. Maka bersabdalah Rasulullah Saw: “Saya akan teliti hal ini”.
Ketika Bani Ubairiq mendengar hal itu, mereka mendatangi salah seorang keluarganya yang bernama Asir bin Urwah untuk menceritakan peristiwa itu. Maka berkumpullah orang-orang sekampungnya serta menghadap Rasulullah Saw dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qatadah bin Nu’man dan pamannya menuduh seorang yang baik diantara kami, orang jujur dan lurus, yaitu menuduh mencuri tanpa bukti apapun”.
Ketika Qatadah berhadapan dengan Rasulullah, ia pun ditegur dengan sabdanya: “Kau menuduh mencuri kepada seorang muslim yang jujur dan lurus tanpa bukti apapun?”. Kemudian Qatadah pulang untuk menceritakan hal itu kepada pamannya. Berkatalah Rifa’ah: “Allahul musta’anu” (Allah tempat kita berlindung). Tidak lama kemudian turun ayat ini (An-Nisa ayat 105) sebagai teguran kepada Nabi Saw berkenaan dengan pembelaannya terhadap Bani Ubairiq, dan surat An-Nisa ayat 106-114 berkenaan dnegan ucapan Nabi Saw terhadap Qatadah.
Setelah itu Rasulullah Saw membawa sendiri senjata yang hilang itu dan menyerahkannya kepada Rifa’ah, sedang Busyair menggabungkan diri dengan kaum Musyrikin dan menumpang pada Sullafah binti Sa’ad. Maka Allah menurunkan ayat selanjutnya (An-Nisa ayat 115-116) sebagai teguran kepada orang-orang yang menggabungkan diri dengan musuh setelah jelas kepadanya petunjuk Allah.


Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad di dalam kitab At-Thabaqat dengan sanadnya yang bersumber dari Mahmud bin Labib: bahwa Busyair bin Al-Harts membongkar gudang Rifa’ah bin Zaid (paman Qatadah bin Nu’man) dan mencuri makanan serta dua set baju besi. Qatadah mengadu kepada Nabi Saw tentang peristiwa itu yang kemudian ditanyakan kepada Busyair oleh Nabi Saw. Akan tetapi ia mungkir, malah menuduh Labib bin Sahl seorang bangsawan lagi hartawan. Maka turunlah ayat ini (An-Nisa ayat 105) yang menerangkan bahwa Busyair pendusta sedang Labib seorang yang bersih.
Setelah turun ayat ini (An-Nisa ayat 105) yang menunjukkan kepalsuan Busyair, ia murtad dan lari ke Mekah menggabungkan diri kepada kaum musyrikin serta menumpang di rumah Sullafah binti Sa’ad. Ia mencaci maki Nabi dan kaum muslimin. Maka turunlah ayat selanjutnya (An-Nisa ayat 115) berkenaan dengan peristiwa Busyair ini.
Kemudian Hasan bin Tsabit menggubah Syi’ir menyindir Busyair sehingga ia kembali pada bulan Rabi’ tahun keempat Hijrah.

An-Nisa ayat 101-103

20.58 4 Comments


“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qasarkan salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (An Nisa : 101)
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pergi ke belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum salat, lalu bersalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau kamu memang sakit; dan bersiap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang yang kafir itu”.  (An Nisa : 102)
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlahh Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (An Nisa : 103)


Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ali: dikemukakan bahwa kaum Bani Najjar bertanya kepada Rasulullah Saw: “Kami tukang bepergian berniaga, bagaimana salat kami?”. Maka Allah menurunkan sebagian ayat ini (An Nisa ayat 101) yang membolehkan salat diqasar. Wahyu tentang ayat ini kemudian terputus sampai “minas salati”. Di dalam suatu pertempuran yang terjadi setelah turunnya ayat di atas (An Nisa ayat 101), Rasulullah Saw mendirikan salat Dhuhur. Di saat itulah kaum musyrikin berkata: “Muhammad dan teman-temannya memberi kesempatan kepada kita untuk menggempur dari belakang, tidakkah kita perhebat serbuan kepada mereka sekarang ini?”. Maka berkatalah yang lainnya: “sebaiknya kita ambil kesempatan lain, karena nanti pun mereka akan melakukan perbuatan serupa di tempat yang sama”. Maka Allah menurunkan wahyu antara kedua salat itu (Dhuhur dan Ashar) sebagai lanjutan ayat ini (An Nisa ayat 101) yaitu “in khiftum” sampai “adzabun muhina” (An Nisa ayat 102) dan kemudian ayat salatul khauf (An Nisa ayat 103).
 
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-hakim dan dishahihkan oleh Al-Baihaki di dalam Kitabnya Ad-dalail yang bersumber dari Ibnu ‘Iyasy Az-Zurqi. Diriwayatkan pula oleh At-Turmudzi seperti peristiwa di atas yang bersumber dari Abu Hurairah. Demikian juga Ibnu Jarir bin Abdillah yang bersumber dari Ibnu Abbas: Dikemukakan ketika Rasulullah Saw bersama sahabatnya di Asfan datanglah serbuan kaum musyrikin, yang diantaranya terdapat Khalid bin Walid. Mereka berada di arah kiblat. Kemudian Nabi Saw mengimami salat dhuhur. Kaum musyrikin berkata: “Alangkah baiknya kalau kita bisa membunuh pimpinannya dalam keadaan demikian”. Yang lainnya berkata: “Sebentar lagi akan datang waktu salat dan mereka lebih mencintai salat daripada anaknya  ataupun dirinya sendiri”. Lalu turunlah Jibril antara waktu dhuhur dan ashar membawa ayat ini (An Nisa ayat 102).

Diriwayatkan oleh A-Bukhari yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa turunnya ayat “in kaana bikum adzam mimmatharin au kuntum mardha” berkenaan dengan Abdurrahman bin Auf pada waktu menderita luka parah, ayat ini (An Nisa ayat 102) memperingatkan kepada orang yang sakit/luka yang tidak mampu menyandangkan senjatanya untuk tetap siap siaga.

An-Nisa ayat 100

04.27 Add Comment


Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dimaksud), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-nisa : 100)


Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Abu Ya’la dengan sanad yang jayyid (baik) yang bersumber dari Ibnu Abbas : bahwa Dhamrah bin Jundab keluar dari rumahnya untuk berhijrah, dan berkata kepada keluarganya: “Gotonglah saya dan hijrahkanlah saya dari tanah musyrikin ini ke tempat Rasulullah Saw”. Di tengah perjalanan sebelum sampai kepada Nabi, ia wafat. Maka turunlah ayat ini (An-Nisa ayat 100) sebagai janji Allah terhadap orang-orang yang gugur disaat melaksanakan tugas agama Allah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin Jubair: bahwa Abi Dhamrah Az-Zurqi termasuk orang yang ada di Mekah (belum berhijrah) menerima berita tentang turunnya surat An-Nisa ayat 98, ia berkata: “Aku cukup berada dan mampu”. Ia pun bersiap-siaplah untuk hijrah menuju ke tempat Nabi Saw di kampung Tan’im. Di perjalanan ia meninggal dunia. Maka turunlah ayat ini (An-Nisa ayat 100) yang menjelaskan kedudukan orang yang gugur di saat melaksanakan panggilan Allah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir seperti itu yang bersumber dari Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, Qatadah, As-Suddi, Ad-Dhahhak dan lain-lainnya: bahwa orang yang wafat dalam hijrah itu ada yang mengatakan Dhamrah bin Al-Aish, ada juga yang menyebutnya Aish bin Dhamrah, Jundab bin Dhamrah, Al-Junda’i, Al-Dhamari, seorang laki-laki dari bani Dhamrah, seorang laki-laki dari suku Khuza’ah, seorang laki-laki dari Bani Laits, seorang dari bani Kinanah, dan ada pula yang mengatakan seorang dari Bani Bakr.

Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d di dalam kitab At-Thabaqat yang bersumber dari Yazid bin Abdillah bin Qisth: bahwa Jundab bin Dhamrah Al-Dhamari sedang sakit di Mekah berkata kepada anaknya: “Bawalah aku keluar dari Mekah ini, aku bisa mati akibat situasi kekalutan di tempat ini”. Mereka berkata: “Kemana kami bawa?”. Ia memberi isyarat dengan tangannya ke arah Madinah dengan maksud hijrah. Kemudian mereka membawanya ke Madinah. Akan tetapi baru sampai di kampung Bani Ghifar ia meninggal dunia. Maka turunlah ayat ini (An-Nisa ayat 100) berkenaan dengan peristiwa tersebut.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, Ibnu mandah dan Al-Barudi dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya yang bersumber dari Az-Zubair bin ‘Awwam: bahwa ketika Khalid bin Haram hijrah ke Habsyah, di perjalanan di gigit ular terus wafat. Maka turunlah ayat ini (An-Nisa ayat 100) berkenaan dengan peristiwa itu.

Diriwayatkan oleh Al-Umawi di dalam kitab Maghazi-nya yang bersumber dari Abdul Malik bin Umair: bahwa ketika sampai berita tentang kerasulan Nabi Saw kepada Aktsam bin Shaifi ia bermaksud mengunjungi Nabi, akan tetapi dihalangi oleh kaumnya, maka ia minta seseorang untuk diutus menyampaikan maksudnya minta keterangan tentang Rasulullah. Maka dipilihlah dua orang utusan untuk menghadap Nabi Saw. Kedua utusan itu berkata: “Kami utusan dari Aktsam bin Shaifi yang ingin tahu tentang siapa nama tuan, apakah kedudukan tuan, apakah yang tuan bawa?”. Nabi Saw menjawab: “Saya Muhammad, anak Abdullah, hamba Allah dan Rasul-Nya”. Kemudian Nabi membaca ayat “innallaha ya’muru bil adli wal ihsan…” sampai akhir ayat (An-Nahl ayat 90). Sesampainya kedua utusan itu kepada Aktsam dan menyampaikan apa yang diterangkan Nabi Saw, berkata Aktsam: “Hai kaumku, ia menyuruh berbudi tinggi dan melarang berakhlak rendah, jadilah kalian pelopor untuk berbudi luhur, dan jangan menjadi pengekor”. Kemudian ia berangkat naik unta menuju Madinah, tapi di perjalanan ia meninggal. Maka turunlah ayat ini (An-Nisa ayat 100) berkenaan dnegan peristiwa tersebut di atas.
Ket: Hadits ini mursal dan sanadnya dhaif

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam kitabnya Al-Mu’ammirin dari dua jalan yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa ketika Ibnu Abbas ditanya tentang ayat ini, ia menjawab: “Turunnya ayat ini (An-Nisa ayat 100) berkenaan dengan peristiwa Aktsam bin Sahifi”. Ketika itu ada yang bertanya lagi: “Bukankah ayat ini berkenaan dengan peristiwa Al-Laits?”. Ia menjawab: “Ini terjadi beberapa masa sebelum peristiwa Al-Laits, ayat-ayat ini bisa khusus bagi peristiwa Aktsam dan juga bagi peristiwa lain.

An-Nisa ayat 97 - 98

07.15 1 Comment


Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dari bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya ialah Jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (An Nisa : 97)
Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)”. (An Nisa : 98)

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa diantara pasukan musyrikin terdapat kaum Muslimin Mekah (yang masih lemah imannya) yang turut bertempur menentang Rasulullah Saw sehingga ada yang terbuhuh karena panah atau pedang pasukan Rasulullah. Maka turunlah ayat ini (An Nisa ayat 97) sebagai penjelasan hukum bagi muslimin yang lemah imannya, yang menganiaya dirinya (mampu membela Islam tetapi tidak melakukannya).

Diriwayatkan oleh Ibnu Marduuwaih: bahwa nama orang-orang yang menambah jumlah musyrikin itu antara lain Qais bin Walid bin Mughirah, Abu Qais bin Al-Faqih bin Mughirah, Walid bin Uthbah bin Rabi’ah, Amr bin Umayyah bin Sufyan, dan Ali bin Umayyah bin Khalaf. Dan selanjutnya dikemukakan bahwa peristiwanya terjadi pada harb Badar, di saat mereka melihat jumlah kaum Muslimin sangat sedikit, timbullah rasa keragu-raguan pada mereka dan berkata: “Tertipu mereka dengan agamanya”. Orang-orang tersebut mati terbunuh di harb Badar itu.
Keterangan:
Menurut Ibnu Abi Hatim diantara orang-orang tersebut dalam hadits di atas, termasuk juga Al-Harts bin Zam’ah bin Al-Aswad dan Ash bin Munabbih bin Al-Haijaj.

Diriwayatkan oleh At-Thabrani yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa ketika segolongan orang-orang Mekah telah masuk Islam dan Rasulullah hijrah, mereka enggan ikut dan takut berhijrah. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (An Nisa ayat 97 – 98) sebagai ancaman hukuman bagi yang enggan dan takut memisahkan diri dari kaum yang memusuhi agama, kecuali orang yang tidak berdaya

Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Abbas. Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dari berbagai jalan: adalah segolongan orang Mekah yang telah masuk Islam, tetapi menyembunyikan keislamannya. Di waktu Badar, mereka dipaksa menyertai kaum Quraisy untuk bertempur melawan Rasulullah sehingga banyak yang mati terbunuh. Berkatalah kaum Muslimin Madinah: “Mereka itu adalah orang-orang Islam tetapi dipaksa ikut bertempur, hendaklah mintakan ampun bagi mereka”. Maka turunlah ayat ini (An Nisa ayat 97). Kemudian mereka menulis surat kepada kaum Muslimin yang masih ada di Mekah dengan ayat tadi, dan tidak ada alasan lagi untuk tidak hijrah. Kemudian mereka hijrah ke Madinah, tetapi masih dikejar dan dianiaya oleh kaum musyrikin, akhirnya mereka terpaksa pulang, kembali ke Mekah. Maka turunlah ayat (Al Ankabut ayat 10) berkenaan dengan peristiwa di atas sebagai teguran terhadap keluhan mereka yang menganggap siksaan yang dialaminya sebagai azab dari Allah.
Ayat ini pun dikirimkan lagi kepada kaum muslimin Mekah, dan mereka merasa sedih. Maka turunlah ayat (An Nahl ayat 110) sebagai janji Allah untuk melindungi orang yang hijrah dan bersabar. Ayat ini dikirimkan pula pada kaum Muslimin Mekah, dan mereka berhijrah ke Madinah, dan tidak luput dari kejaran kaum musyrikin, diantaranya ada yang selamat, tapi ada juga yang gugur.

An-Nisa ayat 95

05.25 Add Comment


Tidaklah sama antara mukmin (yang tidak turut berjihad) yang tidak mempunyai uzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang  yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar”. (An Nisa ayat 95)

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang bersumber dari Al-Barra. diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lainnya dari Zaid bin Tsabit dan At-Thabarani dari Zaid bin Arqam dan Ibnu Hibban dari Al-Falatan bin Ashim seperti riwayat berikut: bahwa ketika turun ayat “La yastawil qa’iduna minal mu’minina” (An Nisa ayat 95) bersabdalah Nabi Saw: “Panggillah si anu”. Maka datanglah ia membawa tinta dengan alat tulisnya. Bersabdalah Rasulullah Saw: “Tulislah “La yastawil qa’iduna minal mu’minina”. Di belakang Rasulullah Saw ada Ibnu Ummi Maktum, ia berkata: “Ya Rasulallah, saya buta”, maka turunlah kelanjutannya “Ghaira ulidharari……..” sampai akhir ayat (An Nisa ayat 95) sebagai pengecualian bagi orang yang berhalangan (darurat).
At-Tirmidzi pun meriwayatkan seperti itu  yang bersumber dari Ibnu Abbas dengan tambahan bahwa yang mengucapkan “Saya buta” adalah Abdullah bin Jahsyim dan Ibnu Ummi Maktum, dipaparkan dalam kitab Turjumanil Quran. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dari berbagai sumber seperti itu dengan riwayat mursal.

An-Nisa ayat 94

20.12 Add Comment


Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berjihad) di jalan Allah, maka telitilah dan jangan kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’ kepadamu: “Kamu bukan seorang Mukmin” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu. Oleh karena itu telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (An Nisa ayat 94)

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Tirmidzi, Al-Hakim dan lainnya yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa seorang laki-laki dari Bani Sulaim yang sedang menggiring dombanya bertemu dengan segolongan sahabat Nabi Saw. Ia mengucapkan salam kepada mereka. Mereka berkata: “Dia memberi salam dengan maksud untuk menyelamatkan diri dari kita”. Mereka pun mengepung dan membunuhnya, serta membawa dombanya kepada Rasulullah Saw. Maka turunlah ayat ini (An-Nisa ayat 94) sebagai teguran agar berhati-hati dalam melaksanakan suatu hukum.

Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari riwayat lain yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa Rasulullah Saw mengirim sepasukan tentara yang diantaranya terdapat Al-Miqdad. Ketika sampai ke tempat yang dituju, penghuninya telah lari semua, kecuali seorang yang kaya raya. Seketika itu juga ia mengucapkan: “Asyhadu alla ilaha illallah”. Akan tetapi orang itu dibunuh oleh Al-Miqdad. Bersabdalah Nabi Saw kepada Miqdad: “Bagaimana pertanggungan jawabmu kelak di akhirat dengan ucapannya ‘Laa ilaha illallah”. Maka Allah menurunkan ayat tersebut (An-Nisa ayat 94) sebagai teguran akan kecerobohan suatu tindakan.

Diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Thabarani dan lainnya yang bersumber dari Abdullah bin Abi Hadrad Al-Aslami. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Juraij yang bersumber dari Ibnu Umar seperti riwayat ini: bahwa Rasulullah Saw telah mengutus suatu pasukan tentara yang diantaranya terdapat Abu Qatadah dan Muhlim bin Yutsamah. Mereka bertemu dengan ‘Amr bin Al-Adlbath Al-Asyja’i yang langsung memberi salam kepada mereka. Akan tetapi (yang memberi salam itu) terus diterjang dan dibunuh oleh Muhlim. Kejadian ini disampaikan kepada Nabi Saw, dan turunlah ayat ini (An-Nisa ayat 94) berkenaan dengan peristiwa di atas.

Diriwayatkan oleh At-Tsa’labi dari Al-Kalbi dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dari As-Suddi dan Ab’d yang bersumber dari Qatadah seperti riwayat ini: bahwa nama orang yang dibunuh itu adalah Mirdas bin Nahiq orang Fadaq, pembunuhnya adalah Usamah bin Zaid, nama pemimpin pasukan adalah Ghalib bin Fudlalah Al-Laitsi.
Dalam riwayat itu dikemukakan bahwa ketika kaum Mirdas melarikan diri, tinggallah Mirdas seorang diri sedang menggiring kambingnya ke gunung. Ketika orang-orang menyusulnya ia mengucapkan: “Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah, Assalamu ‘alaikum!”. Tapi ia dibunuh oleh Usamah bin Zaid. Dan ketika mereka pulang, turunlah ayat ini (An-Nisa ayat 94) sebagai teguran atas tindakannya yang ceroboh.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Luhai’ah dari Abiz-Zubair yang bersumber dari Jabir (Hadits ini sebagai penguat Hadits yang bertingkat hasan): bahwa turunnya ayat ini (An-Nisa ayat 94) berkenaan dengan peristiwa Mirdas.

Diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dari Juz’in bin Al-Hadrajan: bahwa Qidad diutus kepada Nabi Saw dari Yaman. Ia bertemu dengan suatu pasukan Nabi Saw dan dia berkata: “Saya seorang mukmin”. Mereka tidak mengakui keimanannya lalu dibunuhnya.
Peristiwa itu sampai kepada saudaranya (Juz’in bin Al-Hadrajan) yang langsung menghadap Rasulullah Saw. Maka turunlah ayat ini (An-Nisa ayat 94), lalu Rasulullah Saw memberikan diat saudaranya ke Juz’in bin Al-Hadrajan.

An-Nisa ayat 93

16.30 Add Comment


“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam; kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Juraij yang bersumber dari ‘Ikrimah : bahwa ayat ini (An-Nisa ayat 93) turun berkenaan dengan seorang Anshar yang membunuh saudara Miqyas bin Shahabah. Oleh Nabi Saw dibayarkan diatnya (denda) kepada Miqyas tetapi setelah ia menerima diatnya, ia menerkam pembunuh adiknya dan membunuhnya. Maka bersabdalah Rasulullah Saw : “Aku tidak menjamin keselamatan jiwanya, baik di bulan halal maupun di bulan haram”. Miqyas terbunuh di dalam fathu Makah. Ayat ini (An Nisa ayat 93) merupakan dasar hukum qishash.

An-Nisa ayat 92

16.29 Add Comment


Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh tersebut), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Maka barangsiapa yang tidak memperolehnya (mampu), maka hendaklah ia (si pembunuh) bershaum dua bulan berturut-turut untuk penerimaan tobat dari Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (An Nisa : 92)

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari ‘Ikrimah, diriwayatkan pula oleh Ibnu Ishak dan Abu Ya’la, Al-Harts bin Abi Usamah, Abu Muslim Al-Kaji yang bersumber dari Al-Qasim bin Muhammad, diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Hatim dari Sa’id bin Jubair yang bersumber dari Ibnu Abbas yang peristiwanya seperti ini: bahwa Al-Harts bin Yazid dari suku bani ‘Amr bin Lu’ay beserta Abu Jahl pernah menyiksa ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah. Pada suatu hari Al-Harts hijrah kepada Nabi Saw dan bertemu dengan ‘Iyasy di kampung Al-Harrah. ‘Iyasy seketika mencabut pedangnya dan langsung membunuh Al-Harts yang dikira masih bermusuhan juga (belum masuk Islam). Kemudian ‘Iyasy menceritakannya kepada Nabi Saw. Maka turunlah ayat ini (An Nisa ayat 92) sebagai ketentuan hukum bagi pembunuh yang keliru terhadap seorang mukmin.

An-Nisa ayat 90

03.51 Add Comment


Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kaum sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi  kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka”. (An Nisa ayat 90)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi HAtim dan Ibnu Marduwaih yang bersumber dari Al-Hasan: bahwa Suraqah bin Malik Al-Mudlaji telah bercerita bahwa ketika Nabi Saw mendapat kemenangan di peristiwa Badar dan Uhud dan orang-orang di sekeliling Madinah masuk Islam, ia mendengar bahwa Nabi akan mengirim pasukan Khalid bin Walid ke kaumnya (Bani Mudlaj). Ia menghadap Rasulullah Saw dan berkata: “Saya mohon perlindungan tuan dengan sungguh-sungguh untuk diadakan perdamaian dengan kaumku, karena telah sampai berita kepadaku bahwa tuan akan mengirim pasukan kepada mereka. Sekiranya kaum Quraisy tunduk, maka kaumku pun akan tunduk dan masuk Islam. Akan tetapi jika mereka belum tunduk pasti kaum Quraisy akan menyerang dan mengalahkan kaumku”. Kemudian Rasulullah Saw memegang tangan Khalid bin Walid seraya bersabda: “Berangkatlah dengan orang ini dan kerjakanlah apa yang dikehendakinya”. Kemudian Khalid membuat perdamaian dengan mereka supaya tidak berkomplot memerangi Rasulullah dan akan tunduk apabila kaum Quraisy telah tunduk. Maka turunlah ayat ini (An Nisa ayat 90) berkenaan dengan peristiwa di atas yang melarang kaum Muslimin memerangi orang-orang yang telah membuat perdamaian.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa turunnya ayat ini (An Nisa ayat 90) berkenaan dengan Hilal bin Uwaimir Al-Aslami, Suraqah bin Malik Al-Mudlaji dan Bani Judzaimah bin Amir bin Abdi Manaf yang telah mengadakan perdamaian dengan Nabi Saw.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Mujahid: bahwa turunnya ayat ini (An Nisa ayat 90) berkenaan dengan Hilal bin Uwaimir Al-Aslami, yang telah mengadakan perjanjian dengan kaum Muslimin. Tetapi kaumnya ingin bertikai. Uwaimir tidak menghendaki pertempuran dengan kaum Muslimin, atau memerangi kaumnya.

An-Nisa ayat 88

19.57 Add Comment


“Maka mengapa kamu menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya”. (An Nisa ayat 88)

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan lainnya yang bersumber dari Zaid bin Tsabit: bahwa ketika terjadi pertempuran Uhud sebagian dari pasukan Rasulullah SAW pulang kembali ke Madinah. Di kalangan para sahabat timbul dua pendapat, sebagian mengatakan agar dibunuh orang yang mengundurkan diri itu dan sebagian lagi melarangnya. Maka Allah menurunkan ayat ini (An-Nisa ayat 88) sebagai teguran untuk berselisih dalam menghadapi kaum munafik yang telah jelas kekufurannya.

Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’ad bin Mu’adz: Ketika Rasulullah Saw berkhotbah dan diantaranya bersabda: “Siapakah pembelaku terhadap orang yang berbuat jahat dan berkomplot merencanakan kejahatan terhadapku?” Berkatalah Sa’ad bin Mu’adz: “Jikalau ia dari golonganku (Aus) kami yang akan membasminya, dan jika ia dari kalangan Khazraj, tuan perintahkan kami, dan kami akan melaksanakannya”. Berdirilah Sa’ad bin Ubadah (Bani Khazraj): “Apa urusanmu kau sebut-sebut taat kepada Rasulullah Saw hai Ibnu Mu’adz, padahal engkau tahu bahwa itu bukan urusanmu saja”. Berdirilah Usaid bin Khudair dan berkata: “Apakah engkau ini seorang munafik hai Ibnu Ubadah?” Berdirilah Muhammad bin Muslimah dan berkata: “Diamlah kalian, di hadapan kita ada Rasulullah Saw yang berhak memberi perintah dan kita pelaksananya”. Maka turunlah ayat ini (An-Nisa ayat 88) sebagai teguran agar kaum Muslimin tidak berselisih dalam menghadapi kaum munafik”.

Diriwayatkan oleh Ahmad yang bersumber dari Abdurrahman bin ‘Auf: bahwa segolongan bangsa Arab menghadap Rasulullah Saw di Madinah dan masuk Islam. Mereka terkena wabah demam Madinah, lalu mereka pulang dan kembali kufur. Ketika mereka pulang, bertemu dengan serombongan sahabat yang bertanya: “Mengapa kalian pulang?”. Mereka menjawab: “Kami diserang wabah Madinah”. Para sahabat bertanya lagi: “Apakah kalian tidak mendapat teladan yang baik dari Rasulullah?”. Berkatalah sebagian sahabat: “Mereka telah munafik”. Tapi sebagian menyengkalnya. Maka Allah menurunkan ayat ini (An-Nisa ayat 88) sebagai peringatan untuk tidak berselisih dalam menghadapi kaum munafik.
Ket : Didalam sanadnya terdapat tadlis (dipalsukan) dan inqitha’ (terputus).

An-Nisa ayat 83

21.37 Add Comment


Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Padahal kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”. (An Nisa : 83)

Diriwayatkan oleh Muslim yang bersumber dari Umar bin Khattab: bahwa ketika Nabi ‘uzlah (menjauhi) istri-istrinya, Umar bin Khattab masuk ke masjid di saat orang-orang sedang kebingungan sambil bercerita bahwa Rasulullah Saw telah menceraikan istri-istrinya, Umar berdiri di pintu masjid dan berteriak: “Rasulullah tidak menceraikan istrinya, dan aku telah menelitinya”. Maka turunlah ayat ini (An-Nisa ayat 83), berkenaan dengan peristiwa tersebut untuk tidak menyiarkan berita sebelum diselidiki.

An-Nisa ayat 77

20.47 Add Comment


"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari pertempuran), dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat!". Setelah diwajibkan kepada mereka berjihad, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berjihad kepada kami? mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berjihad) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?". Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun".

Diriwayatkan oleh An-Nasai dan Al-Hakim yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa Abdurrahman bin 'Auf dan kawan-kawannya menghadap Nabi SAW dan berkata: "Ya Nabiyyallah! Dahulu ketika kami di Mekah, di saat kami musyrik kami merasa mulia dan pemberani, tetapi kini setelah kami beriman, kami jadi hina". Nabi menjawab: "Dahulu, aku diperintahkan untuk toleran dan dilarang memerangi mereka (kaum musyrikin). Setelah hijrah ke Madinah, kaum muslimin diperintah berjihad akan tetapi mereka (Abdurrahman dan kawan-kawannya) enggan". Maka Allah menurunkan ayat ini (An-Nisa ayat 77) sebagai pemberi semangat untuk turut jihad.

An-Nisa ayat 69

11.54 Add Comment



“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-(Nya) mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para Siddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (An Nisa : 69)

Diriwayatkan oleh At-Thabrani dan Ibnu Marduwaih dengan sanad La ba’sa bihi yang bersumber dari ‘Aisyah : bahwa seorang laki-laki menghadap Nabi Saw dan berkata: Ya Rasulallah! Aku cintai tuan lebih daripada cinta kepada diriku dan anakku sendiri. Dan jika aku sedang di rumah selalu ingat tuan dan tidak sabar ingin segera bertemu dengan tuan. Dan jika aku ingat ajalku dan ajal tuan, aku yakin bahwa tuan akan diangkat beserta Nabi-nabi di surga. Apabila masuk surga, aku takut kalau-kalau tidak bisa bertemu dengan tuan”. Maka Nabi terdiam tidak menjawab sedikit pun sehingga turun Jibril dengan membawa ayat ini (An Nisa ayat 69) sebagai janji Allah kepada orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Masruq : bahwa para sahabat Rasul pernah berkata: Ya Rasulallah!, kami tidak mau berpisah dengan tuan, tapi nanti di akhirat tuan akan diangkat beserta Nabi-nabi lainnya lebih tinggi derajatnya dari kami, sehingga kami tidak dapat bertemu dengan tuan”. Maka turunlah ayat ini (An Nisa ayat 69) sebagai janji Allah bahwa mereka akan digolongkan kepada orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah SWT.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari ‘Ikrimah. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair, Masruq, Ar-Rabi’ Qatadah, As-Suddi, (tapi Mursal): bahwa seorang pemuda menghadap Nabi Saw dan berkata: “Ya Nabiyullah, kami dapat bertemu dengan tuan di dunia ini, dan di akhirat nanti kami tidak dapat bertemu, karena tuan berada di derajat yang tertinggi di surga”. Maka Allah menurunkan ayat ini (An Nisa ayat 69). Kemudian Rasulullah bersabda: “Engkau besertaku di surga insya Allah”.

An-Nisa ayat 66

11.52 Add Comment



“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang sedemikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)”. (An Nisa : 66)
                             

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari As-Suddi: Ketika turun ayat “Walau anna katabna... sampai dengan.. illa qaliilun minhum  (An Nisa ayat 66), Tsabit bin Qais dan seorang Yahudi saling menyombongkan diri dengan ucapan masing-masing. “Demi Allah, Allah telah mewajibkan kepada kami untuk bunuh diri, dan kami (kaum Yahudi dahulu) telah melaksanakannya”. Berkatalah Tsabit: “Demi Allah sekiranya Allah mewajibkan kepada kami supaya bunuh diri, pasti kami akan melaksanakannya”. Maka Allah menurunkan kelanjutan ayat tersebut di atas (An Nisa ayat 66) sebagai penjelasan agar melaksanakan tuntunan Al-Quran yang telah diberikan kepada mereka.

An-Nisa ayat 65

11.50 Add Comment



“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (An Nisa : 65)
                                                                                                                                              
Diriwayatkan oleh imam yang enam yang bersumber dari Abdullah bin Zubair : bahwa Zubair pernah berselisih dengan seorang Anshar tentang pengairan kebun. Bersabdalah Rasulullah Saw.: “Hai Zubair airilah kebunmu dahulu kemudian salurkan ke kebun tetanggamu”. Berkatalah orang Anshar itu: “Ya Rasulallah, karena ia anak bibimu?”. Maka merah padamlah muka Rasulullah Saw karena marahnya dan bersabda: “Siramlah kebunmu Hai Zubair hingga terendam pematangnya, kemudian berikan air itu pada tetanggamu”. Zubair dapat memanfaatkan air itu sepuas-puasnya, dan sesuai dengan ketentuan yang diberikan Rasulullah kepada keduanya. Berkatalah Zubair: “Saya anggap ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa itu”.

Diriwayatkan oleh At-Thabrani di dalam kitabnya Al-Kabir dan Al-Humaidi di dalam Musnadnya yang bersumber dari Ummu Salamah : bahwa Zubair mengadu kepada Rasulullah Saw tentang pertengkarannya dengan seseorang. Rasulullah memutuskan bahwa Zubair yang menang. Maka berkatalah orang itu: “Ia memutuskan demikian karena Zubair kerabatnya yaitu anak bibi Rasulullah”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (An Nisa ayat 65) sebagai penegasan bahwa seseorang yang beriman hendaknya tunduk kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin Al-Musayyab : bahwa turunnya ayat ini (An Nisa ayat 65) berkenaan dengan Zubair’ bin Awwam yang bertengkar dengan Hatib bin Abi Balta’ah tentang air untuk kebun. Rasulullah Saw memutuskan agar kebun yang ada di hulu diairi lebih dahulu kemudian yang dihilirnya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Marduwaih yang bersumber dari Abil Aswad : bahwa dua orang telah mengadu kepada Rasulullah Saw untuk minta diputuskan perkaranya. Setelah Rasulullah menetapkan keputusannya, seorang diantaranya merasa tidak puas dan akan naik banding kepada Umar bin Khattab. Berangkatlah kedua orang itu kepadanya, dan berkata kepada Umar: “Rasulullah Saw telah memenangkan saya terhadap orang ini, akan tetapi ia naik banding kepada tuan”. Maka berkata Umar: “Apakah memang demikian? Tunggulah kalian berdua sampai aku datang untuk kuputuskan hukuman di antara kalian. Tidak beberapa lama kemudian Umar datang dengan membawa pedang terhunus, dan memukul orang yang ingin naik banding kepada Umar itu serta terus dibunuhnya. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (An Nisa ayat 65) sebagai penegasan bahwa orang yang beriman hendaknya mentaati putusan Allah dan Rasul-Nya.

Keterangan:
Hadits ini mursal dan gharib dan dalam sanadnya terdapat seorang bernama Ibnu Luhai’ah. Hadits ini dikuatkan oleh riwayat Rahim di dalam tafsirnya dari Uthbah bin Dhamrah yang bersumber dari bapaknya.