“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang dijadikan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Asma binti Yazid bin As-Sakan: Bahwa Asma binti Yazid As-Sakan Al-Anshariyyah berkata mengenai turunnya ayat tersebut di atas (Al-Baqarah : 228) sebagai berikut: “Aku ditalak oleh suamiku di zaman Rasulullah Saw disaat belum ada hukum ‘iddah bagi wanita yang ditalak, maka Allah menetapkan hukum ‘iddah bagi wanita yaitu menunggu setelah bersuci dari tiga kali haid”.
Diriwayatkan oleh At-Tsa’labi dan Hibatullah bin Salamah dalam kitab An-Nasikh yang bersumber dari Al-Kalbi yang bersumber dari Muqatil: Bahwa Ismail bin Abdillah Al-Ghaifari menceraikan istrinya Qathilah di zaman Rasulullah Saw, Ia sendiri tidak mengetahui bahwa istrinya itu hamil. Setelah ia mengetahuinya, ia rujuk kepada istrinya. Istrinya melahirkan dan meninggal, demikian juga bayinya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Al-Baqarah : 228) yang menegaskan betapa pentingnya masa iddah bagi wanita, untuk mengetahui hamil tidaknya istri.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar