Al-Baqarah ayat 195

08.10 Add Comment
Al-Baqarah ayat 195
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang bersumber dari Hudzaifah: Bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 195) turun berkenaan dengan hukum nafakah.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan yang lainnya yang bersumber dari Abi Ayub Al-Anshari (Menurut Tirmidzi hadits ini sahih) : Dikemukakan peristiwa sebagai berikut: Ketika Islam telah jaya dan berlimpah pengikutnya, kaum Anshar berbisik kepada sesamanya: “Harta kita telah habis, dan Allah telah menjayakan Islam. Bagaimana sekiranya kita membangun dan memperbaiki ekonomi kembali?” Maka turunlah ayat ini sebagai teguran kepada mereka, jangan menjerumuskan diri pada “tahlukah”.
Diriwayatkan oleh At-Thabrani dengan sanad yang shahih yang bersumber dari Abi Jubairah bin Dhahhak: Dikemukakan peristiwa sebagai berikut: Kaum Anshar terkenal gemar bersedekah dengan mengeluarkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Disaat paceklik (musim kelaparan), mereka tidak lagi memberikan sedekah. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Al-Baqarah ayat 195).
Diriwayatkan oleh At-Thabarani dengan sanad yang shahih dan kuat, yang bersumber dari An-Nu’man bin Basyir. Hadits ini diperkuat oleh Al-Hakim yang bersumber dari Al-Barra: Tersebutlah seorang yang menganggap bahwa Allah tidak mengampuni dosa yang pernah dilakukannya. Maka turunlah “Wala tulqu biaidikum ilat-tahlukah”.

Al-Baqarah ayat 194

08.10 Add Comment
Al-Baqarah ayat 194
“Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishash, oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, yang seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah: dikemukakan peristiwa sebagai berikut :Pada bulan Dzulqa’idah Nabi Saw dengan para sahabatnya berangkat ke Mekah untuk menunaikan umrah dengan membawa qurban. Setibanya di Hudaibiah, dicegat oleh kaum musyrikin, dan dibuatlah perjanjian yang isinya antara lain agar kaum Muslimin menunaikan umrahnya pada tahun berikutnya. Pada bulan Dzulqa’idah tahun berikutnya berangkatlah Nabi Saw beserta sahabatnya ke Mekah dan tinggal disana selama tiga malam. Kaum musyrikin merasa bangga dapat menggagalkan maksud Nabi Saw untuk umrah pada tahun yang lalu. Allah SWT membalasnya dengan meluluskan maksud umrah pada bulan yang sama pada tahun berikutnya. Turunnya ayat tersebut diatas (Al-Baqarah ayat 194) berkenaan dengan peristiwa itu.

Al-Baqarah ayat 190-193

08.07 4 Comments


“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al Baqarah : 190)

“Dan bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka. Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah), dan fitnah itu lebih berbahaya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah : 191)

“Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah : 192)

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang dhalim.” (Al Baqarah : 193)

Diriwayatkan oleh Al-Wahidi dari Al-Kalbi, dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas: Bahwa ayat ini turun berkenaan dengan “Perdamaian di Hudaibiah”, yaitu ketika Rasulullah Saw dicegat oleh kaum Quraisy untuk memasuki Baitullah. Adapun isi perdamaian tersebut antara lain agar kaum muslimin menunaikan umrahnya pada tahun berikutnya. Ketika Rasulullah Saw beserta sahabatnya mempersiapkan diri untuk melaksanakan umrah tersebut sesuai dengan perjanjian, para sahabat khawatir kalau-kalau orang Quraisy tidak menepati janjinya, bahkan memerangi dan menghalangi mereka masuk di Masjidil haram, padahal kaum Muslimin enggan berperrang pada bulan haram. Turunnya “Waqatilu fi sabilillahil ladzina…” (Al Baqarah ayat 190-193) membenarkan berjihad untuk membalas serangan musuh.

Al-Baqarah ayat 189

05.37 Add Comment
Al-Baqarah ayat 189
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Al-ufi yang bersumber dari Ibnu Abbas : Bahwa ayat “Yas alunaka ‘anil ahillah” samapi “linnasi walhajji” diturunkan sebagai jawaban terhadap banyaknya pertanyaan kepada Rasulullah Saw tentang peredaran bulan.
Diriwayatkan oleh Inu Abi Hatim yang bersumber dari Abil ‘Alaih : Bahwa orang-orang bertanya pada Rasulullah Saw: “Untuk apa diciptakan bulan sabit?”. Maka turunlah ayat tersebut di atas sebagai penjelasan.
Diriwayatkan oleh Abu Na’im dan Ibnu ‘Asakir di dalam tarikh Dimasyqa, dari As-Suddi As-Shagir, dari Al-Kalbi dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas : Bahwa ayat “Yas alunaka ‘anil ahillah” samapi “linnasi walhajji” ini berkenaan dengan pertanyaan Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunamah kepada Rasulullah Saw: “Ya Rasulullah! Mengapa bulan sabit itu mulai timbul kecil sehalus benang, kemudian bertambah besar hingga bundar dan kembali seperti semula, tiada tetap bentuknya”. Sebagai jawabannya turunlah ayat ini.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang bersumber dari Al-Barra : Bahwa ayat “Walaisal birru bi anta’tul buyuta min dhuhuriha sampai akhir ayat, diturunkan berkenaan dengan kebiasaan orang Jahiliyah sepulangnya menunaikan ihram di Baitullah memasuki rumahnya dari pintu belakang.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi HAtim dan Al-Hakim yang bersumber dari Jabir. Menurut Al-Hakim, hadits ini shahih. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Al-Ufi yang bersumber dari Ibnu Abbas : Bahwa orang-orang Quraisy yang diberi julukan Al-Hams (Ksatria) menganggap baik apabila melakukan ihram masuk dan keluar melalui pintunya, akan tetapi kaum Anshar dan orang-orang Arab lainnya masuk dan keluar tidak melalui pintunya. Pada suatu hari, orang-orang melihat Quthbah bin Amir (dari kaum Anshar) keluar melalui pintu mengikuti Rasulullah Saw. Serempaklah mereka mengadu atas pelanggaran tersebut, sehingga Rasulullah segera menegurnya. Quthbah menjawab: “Saya hanya mengikuti apa yang tuan lakukan”. Rasulullah bersabda: “Aku ini seorang ksatria”. Quthbah menjawab: “Saya pun penganut agama tuan”. Maka turunlah “Walisal birru bi anta’tul buyuta” sampai akhir ayat".
Diriwayatkan oleh At-Thayalisi yang bersumber dari Al-Barra : Bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kaum Anshar yang apabila pulang dari perjalanan, tidak masuk rumah melalui pintunya.
Diriwayatkan oleh ‘Abdu bin Hamid yang bersumber dari Qais bin Habtar An-Nahsyali : Bahwa peristiwanya sebagai berikut: Orang-orang pada waktu itu, apabila hendak berihram di Baitullah tidak masuk melalui pintunya, kecuali golongan ksatria (Al-Hams). Pada suatu hari Rasulullah Saw masuk dan keluar halaman Baitullah melalui pintunya, diikuti oleh Rifa’ah bin Tabut, padahal dia bukan ksatria. Maka mengadulah orang-orang yang melihatnya : “Wahai Rasulullah, Rifa’ah melanggar”. Rasulullah bersabda kepada Rifa’ah: “Mengapa kau berbuat demikian?”. Ia berkata: “Saya mengikuti tuan”. Nabi bersabda: “Aku ini ksatria”. Ia menjawab: “Agama kita satu”, maka turunlah “Walaisal birru bi anta’tul buyuta” sampai akhir ayat.

Al-Baqarah ayat 188

05.36 Add Comment
Al-Baqarah ayat 188
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim-hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin Jubair : Bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Imriil Qais bin ‘Abis dan ‘Abdan bin Asyma’ Al-Hadlrami yang bertengkar dalam soal tanah. Imriil Qais berusaha untuk mendapatkan tanah itu menjadi miliknya dengan bersumpah di depan hakim. Ayat ini sebagai peringatan kepada orang-orang yang merampas hak orang dengan jalan bathil.

Al-Baqarah ayat 186

12.08 4 Comments
Al-Baqarah ayat 186
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat; Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim Ibnu Marduwaih, Abusyaikh dan lain-lainnya dari beberapa jalan; dari Jarir bin Abdul Hamid, dari Abdah As-Sajastani, dari As-Shalt bin Hakim bin Mu’awiyah bin Jaidah, dari bapaknya yang bersumber dari datuknya: bahwa ayat ini turun berkenaan dengan datangnya seorang Arab Badui kepada Nabi Saw yang bertanya: “Apakah Tuhan kita itu dekat, sehingga kami dapat munajat/memohon kepada-Nya, atau jauh, sehingga kami harus menyerunya?”. Nabi Saw terdiam, hingga turunlah ayat ini (Al-Baqarah ayat 186) sebagai jawaban terhadap pertanyaan itu.
Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari Hasan, tetapi ada sumber-sumber lain yang memperkuatnya (Hadits ini mursal): bahwa ayat ini turun sebagai jawaban terhadap beberapa sahabat yang bertanya kepada Nabi Saw: “Diamkah Tuhan kita?”.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir yang bersumber dari Ali: bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sabda Rasulullah Saw: “Janganlah kalian berkecil hati dalam berdo’a, karena Allah telah berfirman “Ud’uni astajib lakum” (Al-Mukmin ayat 60). Berkatalah salah seorang diantara mereka. “Wahai Rasulullah! Apakah Tuhan mendengar do’a kita atau bagaimana?”. Sebagai jawabannya, turunlah ayat ini (Al-Baqarah ayat 186).
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari ‘Atha bin Abi Rabah: bahwa setelah turun ayat “Waqala rabukum ud’uni astajib lakum” (Al-Mukmin ayat 60), para sahabat tidak mengetahui bilamana yang tepat untuk berdo’a. Maka turunlah ayat ini (Al-Baqarah ayat 186).

Al-Baqarah ayat 187

12.07 Add Comment
Al-Baqarah ayat 187
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu pakaian bagimu, dan kamu pun pakaian bagi mereka, Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi keringanan kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah shaum itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber’i’tikaf dalam mesjid-mesjid. Itulah larangan-larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.”
Mengenai turunnya ayat ini, terdapat beberapa peristiwa sebagai berikut :
  • Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim dari ‘Abdurrahman bin Abi Laila, yang bersumber dari Mu’adz bin Jabal. (Hadits ini masyhur dari Ibnu Abi Laila. Walaupun ia tidak mendengar langsung dari Mu’adz bin Jabal, tapi mempunyai sumber lain yang memperkuatnya) : Bahwa para sahabat Nabi Saw menganggap bahwa makan, minum dan menggauli istrinya pada malam hari bulan ramadhan, hanya boleh dilakukan sementara mereka belum tidur. Diantara mereka Qais bin Shirmah dan Umar bin Khattab. Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) merasa kepayahan setelah bekerja pada siang harinya. Karenanya setelah shalat Isya, ia tertidur, sehingga tidak makan dan minum hingga pagi. Adapun Umar bin Khattab menggauli istrinya setelah tertidur pada malam hari bulan Ramadhan. Keesokan harinya ia menghadap kepada Nabi Saw untuk menerangkan hal itu. Maka turunlah ayat “Uhilla lakum lailata shshiami rafatsu….” sampai “atimmu shshiyama ilal-lail” (Al-Baqarah ayat 187).
  • Diriwayatkan oleh Bukhari dari Al-Barra: Bahwa seorang sahabat Nabi Saw tidak makan dan minum pada malam bulan ramadhan, karena tertidur setelah tibanya waktu berbuka puasa. Pada malam itu ia tidak makan sama sekali, dan keesokan harinya ia bershaum lagi. Seorang sahabat lainnya bernama Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar), ketika tibanya waktu berbuka shaum, meminta makanan kepada istrinya yang kebetulan belum tersedia. Ketika istrinya menyediakan makanan, karena lelahnya bekerja pada siang harinya, Qais bin Shirmah tertidur. Setelah makanan tersedia, istrinya mendapatkan suaminya tertidur. berkatalah ia: “wahai celaka kau.” Pada tengah hari keesokan harinya, Qais Shirmah pingsan. Kejadian ini disampaikan kepada Nabi Saw. Maka turunlah ayat tersebut diatas, sehingga gembiralah kaum Muslimin.
  • Para sahabat Nabi Saw apabila tiba bulan ramadhan tidak mendekati istrinya sebulan penuh. Akan tetapi terdapat diantaranya yang tidak dapat menahan nafsunya. Maka turunlah ayat “Alimal lahu annakum kuntum takhtanuna anfusakum fataba ‘alaikum wa’afa ‘ankum” (Al-BAqarah ayat 187) sampai akhir ayat.
  • Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim dari Abdullah bin Ka’b bin Malik yang bersumber dari bapaknya: Bahwa pada waktu itu ada anggapan bahwa pada bulan ramadhan yang shaum haram makan, minum dan menggauli istrinya setelah tertidur malam hari sampai ia berbuka shaum keesokan harinya. Pada suatu ketika Umar bin Khattab pulang dari rumah Nabi Saw setelah larut malam. Ia menginginkan menggauli istrinya, tapi istrinya berkata: “saya sudah tidur”. Umar berkata: “Kau tidak tidur”, dan ia pun menggaulinya. Demikian juga Ka’b berbuat seperti itu. Keesokan harinya Umar menceritakan hal dirinya kepada Nabi Saw. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Al-Baqarah ayat 187) dari awal sampai akhir ayat.
  • Dirirwayatkan oleh Al-Bukhari yang bersumber dari Sahl bin Sa’id: Bahwa kata “Minal Fajri” dalam surat Al-Baqarah ayat 187 diturunkan berkenaan dengan orang-orang pada malam hari, mengikat kakinya dengan tali putih dan tali hitam, apabila hendak shaum. Mereka makan dan minum sampai jelas terlihat perbedaan antara kedua tali itu. Maka turunlah “Minal Fajri”. Kemudian mereka mengerti bahwa Khaithul Abyadlu minal Khaithil Aswadi itu tiada lain adalah siang dan malam.
  • Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah: Bahwa kata “wala tubasyiruhunna wa antum ‘akifuna fil masajidi” dalam ayat tersebut turun berkenaan dengan seorang sahabat yang keluar dari masjid untuk menggauli istrinya disaat ia sedang i’tikaf.

Al-Baqarah ayat 184

07.55 Add Comment
Al-Baqarah ayat 184
“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya bershaum) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Maka barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan bershaum lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d didalam kitab At-Thabaqat yang bersumber dari mujahid : bahwa ayat ini turun berkenaan dengan maula Qais bin Assa-ib yang memaksakan diri bershaum, padahal ia sudah tua sekali. Dengan turunnya ayat ini, ia berbuka dan membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin, selama ia tidak bershaum itu.