“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepesusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraij : bahwa Ibnu Juraij bertanya kepada ‘Atha tentang “wahala ilu abna ikumulladzina min ashlabikum” (An-Nisa ayat 23) ‘Atha menjawab: “Pernah kami memperbincangkan bahwa ayat itu turun mengenai pernikahan Nabi kita Saw kepada mantan istri Zaid bin Haritsah (anak angkat Nabi)”. Kaum musyrikin mempergunjingkannya hingga turun ayat tersebut (An-Nisa ayat 23) dan surat Al-Ahzab ayat 4 dan 40 sebagai penegasan dibenarkannya perkawinan kepada mantan istri anak angkat.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar